Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam adalah nabi pembawa
risalah Islam, rasul terakhir penutup rangkaian nabi-nabi dan
rasul-rasul Allah Subhanahu Wa Ta’ala di muka bumi. Ia adalah salah
seorang dari yang tertinggi di antara 5 rasul yang termasuk dalam
golongan Ulul Azmi atau mereka yang mempunyai keteguhan hati
(QS. 46: 35). Keempat rasul lainnya dalam Ulul Azmi tsb ialah Ibrahim
Alaihissalam, Musa Alaihissalam, Isa Alaihissalam, dan Nuh
Alaihissalam.
Kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam adalah anggota Bani Hasyim, sebuah kabilah yang paling mulia dalam suku Quraisy yang mendominasi masyarakat Arab. Ayahnya bernama Abdullah Muttalib, seorang kepala suku Quraisy yang besar pengaruhnya. Ibunya bernama Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah.
Baik dari garis ayah maupun garis ibu, silsilah Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam sampai kepada Nabi Ibrahim Alaihissalam dan
Nabi Ismail Alaihissalam.
Tahun kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dikenal dengan nama Tahun Gajah,
karena pada tahun itu terjadi peristiwa besar, yaitu datangnya pasukan
gajah menyerbu Mekah dengan tujuan menghancurkan Ka’bah. Pasukan itu
dipimpin oleh Abrahah, gubernur Kerajaan Habsyi di
Yaman. Abrahah ingin mengambil alih kota Mekah dan Ka’bahnya sebagai
pusat perekonomian dan peribadatan bangsa Arab. Ini sejalan dengan
keingin Kaisar Negus dari Ethiopia untuk menguasai seluruh tanah Arab, yang bersama-sama dengan Kaisar Byzantium menghadapi musuh dari timur, yaitu Persia (Irak).
Dalam penyerangan Ka’bah itu, tentara Abrahah hancur karena terserang penyakit yang mematikan yang dibawa oleh burung Ababil yang melempari tentara gajah. Abrahah sendiri lari kembali ke Yaman dan tak lama kemudian meninggal dunia.
Peristiwa ini dikisahkan dalam Al-Qur’an surat Al-Fîl: 1-5.
Beberapa bulan setelah penyerbuan tentara gajah, Aminah melahirkan
seorang bayi laki-laki, yang diberi nama Muhammad. Ia lahir pada malam
menjelang dini hari Senin, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah, bertepatan
dengan 20 April 570 M. Saat itu ayah Muhammad, Abdullah, telah
meninggal dunia.
Nama Muhammad diberikan oleh kakeknya, Abdul Muttalib. Nama
itu sedikit ganjil di kalangan orang-orang Quraisy, karenanya mereka
berkata kepada Abdul Muttalib, “Sungguh di luar kebiasaan, keluarga
Tuan begitu besar, tetapi tak satu pun yang bernama demikian.” Abdul
Muttalib menjawab, “Saya mengerti. Dia memang berbeda dari yang lain.
Dengam nama ini saya ingin agar seluruh dunia memujinya.”
Masa pengasuhan Haliman binti Abi Du’aib as-Sa’diyah
Adalah suatu kebiasaan di Mekah, anak yang baru lahir diasuh dan
disusui oleh wanita desa dengan maksud supaya ia bisa tumbuh dalam
pergaulan masyarakat yang baik dan udara yang lebih bersih. Saat
Muhammad lahir, ibu-ibu dari desa Sa’ad datang ke Mekah
menghubungi keluarga-keluarga yang ingin menyusui anaknya. Desa Sa’ad
terletak kira-kira 60 km dari Mekah, dekat kota Ta’if, suatu wilayah pegunungan yang sangat baik udaranya.
di antara ibu-ibu tsb terdapat seorang wanita bernama Halimah binti Abu Du’aib as Sa’diyah.
Keluarga Halimah tergolong miskin, karenanya ia sempat ragu untuk
mengasuh Muhammad karena keluarga Aminah sendiri juga tidak terlalu
kaya. Akan tetapi entah mengapa bayi Muhammad sangat menawan hatinya,
sehingga akhirnya Halimah pun mengambil Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam sebagai anak asuhnya.
Ternyata kehadiran Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sangat
membawa berkah pada keluarga Halimah. Dikisahkan bahwa kambing
peliharaan Haris, suami Halimah, menjadi gemuk-gemuk dan
menghasilkan susu lebih banyak dari biasanya. Rumput tempat menggembala
kambing itu juga tumbuh subur. Kehidupan keluarga Halimah yang semula
suram berubah menjadi bahagia dan penuh kedamaian. Mereka yakin sekali
bahwa bayi dari Mekah yang mereka asuh itulah yang membawa berkah bagi
kehidupan mereka.
Tanda-tanda kenabian
Sejak kecil Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam telah memperlihatkan keistimewaan yang sangat luar biasa.
Usia 5 bulan ia sudah pandai berjalan, usia 9 bulan ia sudah mampu
berbicara. Pada usia 2 tahun ia sudah bisa dilepas bersama anak-anak
Halimah yang lain untuk menggembala kambing. Saat itulah ia berhenti
menyusu dan karenanya harus dikembalikan lagi pada ibunya. Dengan berat
hati Halimah terpaksa mengembalikan anak asuhnya yang telah membawa
berkah itu, sementara Aminah sangat senang melihat anaknya kembali
dalam keadaan sehat dan segar.
Namun tak lama setelah itu Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
kembali diasuh oleh Halimah karena terjadi wabah penyakit di kota
Mekah. Dalam masa asuhannya kali ini, baik Halimah maupun anak-anaknya
sering menemukan keajaiban di sekitar diri Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam. Anak-anak Halimah sering mendengar suara yang memberi salam
kepada Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, “Assalamu ‘Alaika ya
Muhammad,” padahal mereka tidak melihat ada orang di situ.
Dalam kesempatan lain, Dimrah, anak Halimah, berlari-lari
sambil menangis dan mengadukan bahwa ada dua orang bertubuh besar-besar
dan berpakaian putih menangkap Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam.
Halimah bergegas menyusul Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Saat
ditanyai, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menjawab, “Ada 2
malaikat turun dari langit. Mereka memberikan salam kepadaku,
membaringkanku, membuka bajuku, membelah dadaku, membasuhnya dengan air
yang mereka bawa, lalu menutup kembali dadaku tanpa aku merasa sakit.”
Halimah sangat gembira melihat keajaiban-keajaiban pada diri
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, namun karena kondisi ekonomi
keluarganya yang semakin melemah, ia terpaksa mengembalikan Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam, yang saat itu berusia 4 tahun, kepada ibu
kandungnya di Mekah.
Dalam usia 6 tahun, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam telah
menjadi yatim-piatu. Aminah meninggal karena sakit sepulangnya ia
mengajak Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam berziarah ke makam
ayahnya. Setelah kematian Aminah, Abdul Muttalib mengambil alih
tanggung jawab merawat Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Namun
kemudian Abdul Muttalib pun meninggal, dan tanggung jawab pemeliharaan
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam beralih pada pamannya, Abi Thalib.
Ketika berusia 12 tahun, Abi Thalib mengabulkan permintaan Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam untuk ikut serta dalam kafilahnya ketika ia
memimpin rombongan ke Syam (Suriah). Usia 12 tahun sebenarnya
masih terlalu muda untuk ikut dalam perjalanan seperti itu, namun
dalam perjalanan ini kembali terjadi keajaiban yang merupakan
tanda-tanda kenabian Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam.
Segumpal awan terus menaungi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
sehingga panas terik yang membakar kulit tidak dirasakan olehnya. Awan
itu seolah mengikuti gerak kafilah rombongan Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam. Bila mereka berhenti, awan itu pun ikut berhenti.
Kejadian ini menarik perhatian seorang pendeta Kristen bernama Buhairah yang memperhatikan dari atas biaranya di Busra.
Ia menguasai betul isi kitab Taurat dan Injil. Hatinya bergetar
melihat dalam kafilah itu terdapat seorang anak yang terang benderang
sedang mengendarai unta. Anak itulah yang terlindung dari sorotan sinar
matahari oleh segumpal awan di atas kepalanya. “Inilah Roh Kebenaran
yang dijanjikan itu,” pikirnya.
Pendeta itu pun berjalan menyongsong iring-iringan kafilah itu dan
mengundang mereka dalam suatu perjamuan makan. Setelah
berbincang-bincang dengan Abi Thalib dan Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam sendiri, ia semakin yakin bahwa anak yang bernama Muhammad
adalah calon nabi yang ditunjuk oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Keyakinan ini dipertegas lagi oleh kenyataan bahwa di belakang bahu
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam terdapat sebuah tanda kenabian.
Saat akan berpisah dengan para tamunya, pendeta Buhairah berpesan
pada Abi Thalib, “Saya berharap Tuan berhati-hati menjaganya. Saya
yakin dialah nabi akhir zaman yang telah ditunggu-tunggu oleh seluruh
umat manusia. Usahakan agar hal ini jangan diketahui oleh orang-orang
Yahudi. Mereka telah membunuh nabi-nabi sebelumnya. Saya tidak
mengada-ada, apa yang saya terangkan itu berdasarkan apa yang saya
ketahui dari kitab Taurat dan Injil. Semoga tuan-tuan selamat dalam
perjalanan.”
Apa yang dikatakan oleh pendeta Kristen itu membuat Abi Thalib
segera mempercepat urusannya di Suriah dan segera pulang ke Mekah.
Gelar al-Amin
Pada usia 20 tahun, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam mendirikan Hilful-Fudûl,
suatu lembaga yang bertujuan membantu orang-orang miskin dan
teraniaya. Saat itu di Mekah memang sedang kacau akibat perselisihan
yang terjadi antara suku Quraisy dengan suku Hawazin. Melalui
Hilful-Fudûl inilah sifat-sifat kepemimpinan Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam mulai tampak. Karena aktivitasnya dalam lembaga ini,
disamping ikut membantu pamannya berdagang, namanya semakin terkenal
sebagai orang yang terpercaya. Relasi dagangnya semakin meluas karena
berita kejujurannya segera tersiar dari mulut ke mulut, sehingga ia
mendapat gelar Al-Amîn, yang artinya orang yang terpercaya.
Selain itu ia juga terkenal sebagai orang yang adil dan memiliki
rasa kemanusiaan yang tinggi. Suatu ketika bangunan Ka’bah rusak karena
banjir. Penduduk Mekah kemudian bergotong-royong memperbaiki Ka’bah.
Saat pekerjaan sampai pada pengangkatan dan peletakan Hajar Aswad ke
tempatnya semula, terjadi perselisihan. Masing-masing suku ingin
mendapat kehormatan untuk melakukan pekerjaan itu. Akhirnya salah satu
dari mereka kemudian berkata, “Serahkan putusan ini pada orang yang
pertama memasuki pintu Shafa ini.”
Mereka semua menunggu, kemudian tampaklah Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam muncul dari sana. Semua hadirin berseru, “Itu dia
al-Amin, orang yang terpercaya. Kami rela menerima semua keputusannya.”
Setelah mengerti duduk perkaranya, Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam lalu membentangkan sorbannya di atas tanah, dan meletakkan
Hajar Aswad di tengah-tengah, lalu meminta semua kepala suku memegang
tepi sorban itu dan mengangkatnya secara bersama-sama. Setelah sampai
pada ketinggian yang diharapkan, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
meletakkan batu itu pada tempatnya semula. Dengan demikian selesailah
perselisihan di antara suku-suku tsb dan mereka pun puas dengan cara
penyelesaian yang sangat bijak itu.
Pernikahan dengan Khadijah
Pada usia 25 tahun, atas permintaan Khadijah binti Khuwailid,
seorang saudagar kaya raya, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
berangkat ke Suriah membawa barang dagangan saudagar wanita yang telah
lama menjanda itu. Ia dibantu oleh Maisaroh, seorang pembantu
lelaki yang telah lama bekerja pada Khadijah. Sejak pertemuan pertama
dengan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, Khadijah telah menaruh
simpati melihat penampilan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam yang
sopan itu. Kekagumannya semakin bertambah mengetahui hasil penjualan
yang dicapai Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam di Suriah melebihi
perkiraannya.
Akhirnya Khadijah mengutus Maisaroh dan teman karibnya, Nufasah
untuk menyampaikan isi hatinya kepada Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam. Khadijah yang berusia 40 tahun, melamar Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam untuk menjadi suaminya.
Setelah bermusyawarah dengan keluarganya, lamaran itu akhirnya
diterima dan dalam waktu dekat segera diadakan upacara pernikahan
dengan sederhana. yang hadir dalam acara itu antara lain Abi Thalib, Waraqah bin Nawfal dan Abu Bakar as-Siddiq.
Pernikahan bahagia itu dikaruniai 6 orang anak, terdiri dari 2 anak lelaki bernama Al-Qasim dan Abdullah, dan 4 anak perempuan bernama Zainab, Ruqayyah, Ummu Kalsum, dan Fatimah.
Kedua anak lelakinya meninggal selagi masih kecil. Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam tidak menikah lagi sampai Khadijah
meninggal, saat Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam berusia 50 tahun.
Dalam kehidupan rumah-tangganya dengan Khadijah, Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam tidak pernah menyakiti hati istrinya.
Sebaliknya istrinya pun ikhlas menyerahkan segalanya pada suaminya.
Kekayaan istrinya digunakan oleh Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
untuk membantu orang-orang miskin dan tertindas. Budak-budak yang telah
dimiliki Khadijah sebelum pernikahan mereka, semuanya ia bebaskan,
salah satunya adalah Zaid bin Haritsah yang kemudian menjadi anak angkatnya.
Wahyu pertama
Menjelang usianya yang ke-40, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sering berkhalwat (menyendiri) ke Gua Hira,
sekitar 6 km sebelah timur kota Mekah. Ia bisa berhari-hari bertafakur
dan beribadah disana. Suatu ketika, pada tanggal 17 Ramadhan/6 Agustus
611, ia melihat cahaya terang benderang memenuhi ruangan gua itu.
Tiba-tiba Malaikat Jibril muncul di hadapannya sambil berkata, “Iqra’ (bacalah).” Lalu Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menjawab, “Mâ anâ bi qâri’
(saya tidak dapat membaca).” Mendengar jawaban Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam, Jibril lalu memeluk tubuh Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam dengan sangat erat, lalu melepaskannya dan kembali menyuruh
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam membaca. Namun setelah dilakukan
sampai 3 kali dan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam tetap memberikan
jawaban yang sama, Malaikat Jibril kemudian menyampaikan wahyu Allah
Subhanahu Wa Ta’ala pertama, yang artinya:
Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Menciptakan. Ia
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah yang
Paling Pemurah. yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. 96: 1-5)
Saat itu Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam berusia 40 tahun 6
bulan 8 hari menurut perhitungan tahun kamariah (penanggalan
berdasarkan bulan), atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut perhitungan
tahun syamsiah (penanggalan berdasarkan matahari). Dengan turunnya 5
ayat pertama ini, berarti Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam telah
dipilih oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai rasul.
Setelah pengalaman luar biasa di Gua Hira tsb, dengan rasa ketakutan
dan cemas Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam pulang ke rumah
dan berseru pada Khadijah, “Selimuti aku, selimuti aku.” Sekujur
tubuhnya terasa panas dan dingin berganti-ganti. Setelah lebih tenang,
barulah ia bercerita kepada istrinya. Untuk lebih menenangkan hati
suaminya, Khadijah mengajak Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
datang pada saudara sepupunya, Waraqah bin Naufal, yang banyak
mengetahui kitab-kitab suci Kristen dan Yahudi. Mendengar cerita yang
dialami Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, Waraqah pun berkata,
“Aku telah bersumpah dengan nama Tuhan, yang dalam tangan-Nya terletak
hidup Waraqah, Tuhan telah memilihmu menjadi nabi kaum ini. An-Nâmûs al-Akbar
(Malaikat Jibril) telah datang kepadamu. Kaummu akan mengatakan bahwa
engkau penipu, mereka akan memusuhimu, dan mereka akan melawanmu.
Sungguh, sekiranya aku dapat hidup pada hari itu, aku akan berjuang
membelamu.”
Dakwah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
Wahyu berikutnya adalah surat Al-Muddatsir: 1-7, yang artinya:
Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah
peringatan! dan Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan
perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu
memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan
untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah. (QS. 74: 1-7)
Dengan turunnya surat Al-Muddatsir ini, mulailah Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam berdakwah. Mula-mula ia melakukannya secara
sembunyi-sembunyi di lingkungan keluarga dan rekan-rekannya. Orang
pertama yang menyambut dakwahnya adalah Khadijah, istrinya. Dialah yang
pertama kali masuk Islam. Menyusul setelah itu adalah Ali bin Abi Thalib,
saudara sepupunya yang kala itu baru berumur 10 tahun, sehingga Ali
menjadi lelaki pertama yang masuk Islam. Kemudian Abu Bakar, sahabat
karibnya sejak masa kanak-kanak. Baru kemudian diikuti oleh Zaid bin
Haritsah, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya, dan Ummu Aiman, pengasuh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sejak ibunya masih hidup.
Abu Bakar sendiri kemudian berhasil mengislamkan beberapa orang teman dekatnya, seperti, Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqas, dan Talhah bin Ubaidillah. Dari dakwah yang masih rahasia ini, belasan orang telah masuk Islam.
Setelah beberapa lama Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menjalankan
dakwah secara diam-diam, turunlah perintah agar Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam menjalankan dakwah secara terang-terangan. Mula-mula ia
mengundang kerabat karibnya dalam sebuah jamuan. Pada kesempatan itu ia
menyampaikan ajarannya. Namun ternyata hanya sedikit yang menerimanya.
Sebagian menolak dengan halus, sebagian menolak dengan kasar, salah
satunya adalah Abu Lahab.
Langkah dakwah seterusnya diambil Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam dalam pertemuan yang lebih besar. Ia pergi ke Bukit Shafa,
sambil berdiri di sana ia berteriak memanggil orang banyak. Karena
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam adalah orang yang terpercaya,
penduduk yakin bahwa pastilah terjadi sesuatu yang sangat penting,
sehingga mereka pun berkumpul di sekitar Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam.
Untuk menarik perhatian, mula-mula Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
berkata, “Saudara-saudaraku, jika aku berkata, di belakang bukit ini
ada pasukan musuh yang siap menyerang kalian, percayakah kalian?”
Dengan serentak mereka menjawab, “Percaya, kami tahu saudara belum
pernah berbohong. Kejujuran saudara tidak ada duanya. Saudara yang
mendapat gelar al-Amin.”
Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam meneruskan, “Kalau demikian, dengarkanlah. Aku ini adalah seorang nazir (pemberi peringatan). Allah telah memerintahkanku agar aku memperingatkan saudara-saudara. Hendaknya kamu hanya menyembah Allah saja. Tidak ada Tuhan selain Allah. Bila saudara ingkar, saudara akan terkena azabnya dan saudara nanti akan menyesal. Penyesalan kemudian tidak ada gunanya.”
Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam meneruskan, “Kalau demikian, dengarkanlah. Aku ini adalah seorang nazir (pemberi peringatan). Allah telah memerintahkanku agar aku memperingatkan saudara-saudara. Hendaknya kamu hanya menyembah Allah saja. Tidak ada Tuhan selain Allah. Bila saudara ingkar, saudara akan terkena azabnya dan saudara nanti akan menyesal. Penyesalan kemudian tidak ada gunanya.”
Tapi khotbah ini ternyata membuat orang-orang yang berkumpul itu
marah, bahkan sebagian dari mereka ada yang mengejeknya gila. Pada saat
itu, Abu Lahab berteriak, “Celakalah engkau hai Muhammad. Untuk inikah
engkau mengumpulkan kami?”
Sebagai balasan terhadap ucapan Abu Lahab tsb turunlah ayat Al-Qur’an yang artinya:
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.
Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula)
isterinya, pembawa kayu bakar. yang di lehernya ada tali dari sabut. (QS. 111: 1-5)
Aksi-aksi menentang Dakwah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
Reaksi-reaksi keras menentang dakwah Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam bermunculan, namun tanpa kenal lelah Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam terus melanjutkan dakwahnya, sehingga hasilnya mulai
nyata. Hampir setiap hari ada yang menggabungkan diri dalam barisan
pemeluk agama Islam. Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, budak,
pekerja, dan orang-orang miskin serta lemah. Meskipun sebagian dari
mereka adalah orang-orang yang lemah, namun semangat yang mendorong
mereka beriman sangat membaja.
Tantangan dakwah terberat datang dari para penguasa Mekah, kaum
feodal, dan para pemilik budak. Mereka ingin mempertahankan tradisi
lama disamping juga khawatir jika struktur masyarakat dan
kepentingan-kepentingan dagang mereka akan tergoyahkan oleh ajaran Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam yang menekankan pada keadilan
sosial dan persamaan derajat. Mereka menyusun siasat untuk melepaskan
hubungan keluarga antara Abi Thalib dan Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam dengen cara meminta pada Abu Thalib memilih satu di
antara dua: memerintahkan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam agar
berhenti berdakwah, atau menyerahkannya kepada mereka. Abi Thalib
terpengaruh oleh ancaman itu, ia meminta agar Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam menghentikan dakwahnya. Tetapi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam menolak permintaannya dan berkata, “Demi Allah saya
tidak akan berhenti memperjuangkan amanat Allah ini, walaupun seluruh
anggota keluarga dan sanak saudara mengucilkan saya.”
Mendengar jawaban ini, Abi Thalib pun berkata, “Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu”.
Gagal dengan cara pertama, kaum Quraisy lalu mengutus Walid bin Mugirah
menemui Abi Thalib dengan membawa seorang pemuda untuk dipertukarkan
dengan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Pemuda itu bernama Umarah bin Walid,
seorang pemuda yang gagah dan tampan. Walid bin Mugirah berkata,
“Ambillah dia menjadi anak saudara, tetapi serahkan kepada kami Muhammad
untuk kami bunuh, karena dia telah menentang kami dan memecah belah
kita”.
Usul Quraisy itu ditolak mentah-mentah oleh Abi Thalib dengan berkata, “Sungguh jahat pikiran kalian. Kalian serahkan anak kalian untuk saya asuh dan beri makan, dan saya serahkan kemenakan saya untuk kalian bunuh. Sungguh suatu penawaran yang tak mungkin saya terima.”
Usul Quraisy itu ditolak mentah-mentah oleh Abi Thalib dengan berkata, “Sungguh jahat pikiran kalian. Kalian serahkan anak kalian untuk saya asuh dan beri makan, dan saya serahkan kemenakan saya untuk kalian bunuh. Sungguh suatu penawaran yang tak mungkin saya terima.”
Kembali mengalami kegagalan, berikutnya mereka menghadapi Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam secara langsung. Mereka mengutus Utbah bin Rabi’ah,
seorang ahli retorika, untuk membujuk Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam. Mereka menawarkan takhta, wanita, dan harta yang mereka kira
diinginkan oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, asal Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam bersedia menghentikan dakwahannya. Namun semua tawaran
itu ditolak oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dengan
mengatakan, “Demi Allah, biarpun mereka meletakkan matahari di tangan
kananku, dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan menghentikan dakwah
agama Allah ini, hingga agama ini memang atau aku binasa karenanya.”
Setelah gagal dengan cara-cara diplomatik dan bujuk rayu, kaum
Quraisy mulai melakukan tindak kekerasan. Budak-budak mereka yang telah
masuk Islam mereka siksa dengan sangat kejam. Mereka dipukul,
dicambuk, dan tidak diberi makan dan minum. Salah seorang budak bernama
Bilal, mendapat siksaan ditelentangkan di atas pasir yang panas dan di atas dadanya diletakkan batu yang besar dan berat.
Setiap suku diminta menghukum anggota keluarganya yang masuk Islam
sampai ia murtad kembali. Usman bin Affan misalnya, dikurung dalam
kamar gelap dan dipukul hingga babak belur oleh anggota keluarganya
sendiri. Secara keseluruhan, sejak saat itu umat Islam mendapat siksaan
yang pedih dari kaum Quraisy Mekah. Mereka dilempari kotoran,
dihalangi untuk melakukan ibadah di Ka’bah, dan lain sebagainya.
Kekejaman terhadap kaum Muslimin mendorong Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam untuk mengungsikan sahabat-sahabatnya keluar dari
Mekah. Dengan pertimbangan yang mendalam, pada tahun ke-5 kerasulannya,
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menetapkan Abessinia atau Habasyah
(Ethiopia sekarang) sebagai negeri tempat pengungsian, karena raja
negeri itu adalah seorang yang adil, lapang hati, dan suka menerima
tamu. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam merasa pasti rombongannya akan
diterima dengan tangan terbuka.
Rombongan pertama terdiri dari 10 orang pria dan 5 orang wanita. di
antara rombongan tsb adalah Usman bin Affan beserta istrinya Ruqayah
(putri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam), Zubair bin Awwam, dan
Abdur Rahman bin Auf. Kemudian menyusul rombongan kedua yang dipimpin
oleh Ja’far bin Abi Thalib. Beberapa sumber menyatakan jumlah rombongan ini lebih dari 80 orang.
Berbagai usaha dilakukan oleh kaum Quraisy untuk menghalangi hijrah
ke Habasyah ini, termasuk membujuk raja negeri tsb agar menolak
kehadiran umat Islam disana. Namun berbagai usaha itu pun gagal.
Semakin kejam mereka memperlakukan umat Islam, justru semakin bertambah
jumlah yang memeluk Islam. Bahkan di tengah meningkatnya kekejaman
tsb, dua orang kuat Quraisy masuk Islam, yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab.
Dengan masuk Islamnya dua orang yang dijuluki “Singa Arab” itu,
semakin kuatlah posisi umat Islam dan dakwah Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam pada waktu itu.
Hal ini membuat reaksi kaum Quraisy semakin keras. Mereka
berpendapat bahwa kekuatan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
terletak pada perlindungan Bani Hasyim, maka mereka pun berusaha
melumpuhkan Bani Hasyim dengan melaksanakan blokade. Mereka memutuskan
segala macam hubungan dengan suku ini. Tidak seorang pun penduduk Mekah
boleh melakukan hubungan dengan Bani Hasyim, termasuk hubungan
jual-beli dan pernikahan. Persetujuan yang mereka buat dalam bentuk
piagam itu mereka tanda-tangani bersama dan mereka gantungkan di dalam
Ka’bah. Akibatnya, Bani Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan, dan
kesengsaraan. Untuk meringankan penderitaan itu, Bani Hasyim akhirnya
mengungsi ke suatu lembah di luar kota Mekah.
Tindakan pemboikotan yang dimulai pada tahun ke-7 kenabian Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam dan berlangsung selama 3 tahun itu
merupakan tindakan yang paling menyiksa. Pemboikotan itu berhenti
karena terdapat beberapa pemimpin Quraisy yang menyadari bahwa tindakan
pemboikotan itu sungguh keterlaluan. Kesadaran itulah yang mendorong
mereka melanggar perjanjian yang mereka buat sendiri. Dengan demikian
Bani Hasyim akhirnya dapat kembali pulang ke rumah masing-masing.
Setelah Bani Hasyim kembali ke rumah mereka, Abi Thalib, paman Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam yang merupakan pelindung utamanya,
meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Tiga hari kemudian, Khadijah,
istrinya, juga meninggal dunia. Tahun ke-10 kenabian ini benar-benar
merupakan Tahun Kesedihan (‘Âm al-Huzn) bagi Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam. Telebih sepeninggal dua pendukungnya itu,
kaum Quraisy tidak segan-segan melampiaskan kebencian kepada Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam. Hingga kemudian Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam berusaha menyebarkan dakwah ke luar kota, yaitu ke Ta’if.
Namun reaksi yang diterima Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dari Bani Saqif
(penduduk Ta’if), tidak jauh berbeda dengan penduduk Mekah. Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam diejek, disoraki, dilempari batu sampai ia
luka-luka di bagian kepala dan badannya.
Peristiwa Isra Mi’raj
Pada tahun ke-10 kenabian, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam mengalami peristiwa Isra Mi’raj.
Isra, yaitu perjalanan malam hari dari Masjidilharam di Mekah ke Masjidilaksa di Yerusalem.
Mi’raj , yaitu kenaikan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dari Masjidilaksa ke langit melalui beberapa tingkatan, terus menuju Baitulmakmur, sidratulmuntaha, arsy (takhta Tuhan), dan kursi (singgasana Tuhan), hingga menerima wahyu di hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Mi’raj , yaitu kenaikan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dari Masjidilaksa ke langit melalui beberapa tingkatan, terus menuju Baitulmakmur, sidratulmuntaha, arsy (takhta Tuhan), dan kursi (singgasana Tuhan), hingga menerima wahyu di hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dalam kesempatannnya berhadapan langsung dengan Allah Subhanahu Wa
Ta’ala inilah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menerima
perintah untuk mendirikan sholat 5 waktu sehari semalam.
Peristiwa Isra Mi’raj ini terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Isrâ’ ayat 1.
Hijrah
Harapan baru bagi perkembangan Islam muncul dengan datangnya jemaah haji ke Mekah yang berasal dari Yatsrib
(Madinah). Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam memanfaatkan
kesempatan itu untuk menyebarkan agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan
mendatangi kemah-kemah mereka. Namun usaha ini selalu diikuti oleh Abu
Lahab dan kawan-kawannya dengan mendustakan Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam.
Suatu ketika Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam bertemu dengan 6 orang dari suku Aus dan Khazraj
yang berasal dari Yatsrib. Setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
menyampaikan pokok-pokok ajaran Islam, mereka menyatakan diri masuk
Islam di hadapan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Mereka berkata,
“Bangsa kami sudah lama terlibat dalam permusuhan, yaitu antara suku
Khazraj dan Aus. Mereka benar-benar merindukan perdamaian. Kiranya kini
Tuhan mempersatukan mereka kembali dengan perantaramu dan ajaran-ajaran
yang kamu bawa. Oleh karena itu kami akan berdakwah agar mereka
mengetahui agama yang kami terima dari kamu ini.”
Pada musim haji tahun berikutnya, datanglah delegasi Yatsrib yang
terdiri dari 12 orang suku Khazraj dan Aus. Mereka menemui Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam di suatu tempat bernama Aqabah. Di
hadapan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, mereka menyatakan ikrar
kesetiaan. Karena ikrar ini dilakukan di Aqabah, maka dinamakan Bai’at Aqabah. Rombongan 12 orang tsb kemudian kembali ke Yatsrib sebagai juru dakwah dengan ditemani oleh Mus’ab bin Umair yang sengaja diutus oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam atas permintaan mereka.
Pada musim haji berikutnya, jemaah haji yang datang dari Yatsrib
berjumlah 75 orang, termasuk 12 orang yang sebelumnya telah menemui
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam di Aqabah. Mereka meminta agar Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam bersedia pindah ke Yatsrib. Mereka berjanji
akan membela Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dari segala ancaman.
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menyetujui usul yang mereka ajukan.
Mengetahui adanya perjanjian antara Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam dengan orang-orang Yatsrib, kaum Quraisy menjadi semakin
kejam terhadap kaum muslimin. Hal ini membuat Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib. Secara
diam-diam, berangkatlah rombongan-rombongan muslimin, sedikit demi
sedikit, ke Yatsrib. Dalam waktu 2 bulan, kurang lebih 150 kaum
muslimin telah berada di Yatsrib. Sementara itu Ali bin Abi Thalib dan
Abu Bakar as-Sidiq tetap tinggal di Mekah bersama Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam, membelanya sampai Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
mendapat wahyu untuk hijrah ke Yatsrib.
Kaum Quraisy merencanakan untuk membunuh Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam sebelum ia sempat menyusul umatnya ke Yatsrib.
Pembunuhan itu direncanakan melibatkan semua suku. Setiap suku diwakili
oleh seorang pemudanya yang terkuat. Rencana pembunuhan itu terdengar
oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, sehingga ia merencanakan hijrah
bersama sahabatnya, Abu Bakar. Abu Bakar diminta mempersiapkan segala
hal yang diperlukan dalam perjalanan, termasuk 2 ekor unta. Sementara
Ali bin Abi Thalib diminta untuk menggantikan Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam menempati tempat tidurnya agar kaum Quraisy mengira bahwa Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam masih tidur.
Pada malam hari yang direncanakan, di tengah malam buta Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam keluar dari rumahnya tanpa diketahui oleh
para pengepung dari kalangan kaum Quraisy. Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam menemui Abu Bakar yang telah siap menunggu. Mereka berdua
keluar dari Mekah menuju sebuah Gua Tsur, kira-kira 3 mil
sebelah selatan Kota Mekah. Mereka bersembunyi di gua itu selama 3 hari
3 malam menunggu keadaan aman. Pada malam ke-4, setelah usaha orang
Quraisy mulai menurun karena mengira Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
sudah sampai di Yatsrib, keluarlah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan
Abu Bakar dari persembunyiannya. Pada waktu itu Abdullah bin Uraiqit
yang diperintahkan oleh Abu Bakar pun tiba dengan membawa 2 ekor unta
yang memang telah dipersiapkan sebelumnya. Berangkatlah Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam bersama Abu Bakar menuju Yatsrib menyusuri
pantai Laut Merah, suatu jalan yang tidak pernah ditempuh orang.
Setelah 7 hari perjalanan, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan Abu Bakar tiba di Quba, sebuah desa yang jaraknya 5 km dari Yatsrib. Di desa ini mereka beristirahat selama beberapa hari. Mereka menginap di rumah Kalsum bin Hindun. Di halaman rumah ini Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam membangun sebuah masjid yang kemudian terkenal sebagai Masjid Quba. Inilah masjid pertama yang dibangun Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sebagai pusat peribadatan.
Tak lama kemudian, Ali menggabungkan diri dengan Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam. Sementara itu penduduk Yatsrib menunggu-nunggu
kedatangannya. Menurut perhitungan mereka, berdasarkan perhitungan yang
lazim ditempuh orang, seharusnya Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
sudah tiba di Yatsrib. Oleh sebab itu mereka pergi ke tempat-tempat
yang tinggi, memandang ke arah Quba, menantikan dan menyongsong
kedatangan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan rombongan. Akhirnya
waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Dengan perasaan bahagia, mereka
mengelu-elukan kedatangan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Mereka
berbaris di sepanjang jalan dan menyanyikan lagu Thala’ al-Badru, yang isinya:
Telah tiba bulan purnama, dari Saniyyah al-Wadâ’i (celah-celah bukit).
Kami wajib bersyukur, selama ada orang yang menyeru kepada Ilahi,
Wahai orang yang diutus kepada kami,
engkau telah membawa sesuatu yang harus kami taati.
Setiap orang ingin agar Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam singgah dan
menginap di rumahnya. Tetapi Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam hanya
berkata, “Aku akan menginap dimana untaku berhenti. Biarkanlah dia
berjalan sekehendak hatinya.”
Ternyata unta itu berhenti di tanah milik dua anak yatim, yaitu Sahal dan Suhail, di depan rumah milik Abu Ayyub al-Anshari.
Dengan demikian Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam memilih rumah Abu
Ayyub sebagai tempat menginap sementara. Tujuh bulan lamanya Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam tinggal di rumah Abu Ayyub, sementara kaum
Muslimin bergotong-royong membangun rumah untuknya.
Sejak itu nama kota Yatsrib diubah menjadi Madînah an-Nabî (kota nabi). Orang sering pula menyebutnya Madînah al-Munawwarah (kota yang bercahaya), karena dari sanalah sinar Islam memancar ke seluruh dunia.
Terbentuknya Negara Madinah
Setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam tiba di Madinah dan
diterima penduduk Madinah, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menjadi
pemimpin penduduk kota itu. Ia segera meletakkan dasar-dasar kehidupan
yang kokoh bagi pembentukan suatu masyarakat baru.
Dasar pertama yang ditegakkannya adalah Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan di dalam Islam), yaitu antara kaum Muhajirin (orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah) dan Anshar
(penduduk Madinah yang masuk Islam dan ikut membantu kaum Muhajirin).
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mempersaudarakan individu-individu dari
golongan Muhajirin dengan individu-individu dari golongan Anshar.
Misalnya, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mempersaudarakan Abu Bakar
dengan Kharijah bin Zaid, Ja’far bin Abi Thalib dengan Mu’az bin Jabal.
Dengan demikian diharapkan masing-masing orang akan terikat dalam
suatu persaudaraan dan kekeluargaan. Dengan persaudaraan yang semacam
ini pula, Rasulullah telah menciptakan suatu persaudaraan baru, yaitu
persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan
keturunan.
Dasar kedua adalah sarana terpenting untuk mewujudkan rasa
persaudaraan tsb, yaitu tempat pertemuan. Sarana yang dimaksud adalah
masjid, tempat untuk melakukan ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala
secara berjamaah, yang juga dapat digunakan sebagai pusat kegiatan
untuk berbagai hal, seperti belajar-mengajar, mengadili perkara-perkara
yang muncul dalam masyarakat, musyawarah, dan transaksi dagang.
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam merencanakan pembangunan masjid itu
dan langsung ikut membangun bersama-sama kaum muslimin. Masjid yang
dibangun ini kemudian dikenal sebagai Masjid Nabawi. Ukurannya
cukup besar, dibangun di atas sebidang tanah dekat rumah Abu Ayyub
al-Anshari. Dindingnya terbuat dari tanah liat, sedangkan atapnya dari
daun-daun dan pelepah kurma. Di dekat masjid itu dibangun pula tempat
tinggal Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan keluarganya.
Dasar ketiga adalah hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain
yang tidak beragama Islam. Di Madinah, disamping orang-orang Arab Islam
juga masih terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab
yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas
masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka. Perjanjian tsb diwujudkan
melalui sebuah piagam yang disebut dengan Mîsâq Madînah atau
Piagam Madinah. Isi piagam itu antara lain mengenai kebebasan beragama,
hak dan kewajiban masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban
negerinya, kehidupan sosial, persamaan derajat, dan disebutkan bahwa
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam menjadi kepala pemerintahan di
Madinah.
Masyarakat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam di Madinah setelah hijrah itu sudah dapat dikatakan sebagai
sebuah negara, dengan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sebagai
kepala negaranya. Dengan terbentuknya Negara Madinah, Islam makin
bertambah kuat. Perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang-orang
Mekah menjadi resah. Mereka takut kalau-kalau umat Islam memukul mereka
dan membalas kekejaman yang pernah mereka lakukan. Mereka juga
khawatir kafilah dagang mereka ke Suriah akan diganggu atau dikuasai
oleh kaum muslimin.
Untuk memperkokoh dan mempertahankan keberadaan negara yang baru
didirikan itu, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mengadakan beberapa
ekspedisi ke luar kota, baik langsung di bawah pimpinannya maupun
tidak. Hamzah bin Abdul Muttalib membawa 30 orang berpatroli ke pesisir
L. Merah. Ubaidah bin Haris membawa 60 orang menuju Wadi Rabiah. Sa’ad bin Abi Waqqas ke Hedzjaz dengan 8 orang Muhajirin. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sendiri membawa pasukan ke Abwa dan disana berhasil mengikat perjanjian dengan Bani Damra, kemudian ke Buwat dengan membawa 200 orang Muhajirin dan Anshar, dan ke Usyairiah. Di sini Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mengadakan perjanjian dengan Bani Mudij.
Ekspedisi-ekspedisi tsb sengaja digerakkan Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam sebagai aksi-aksi siaga dan melatih kemampuan calon pasukan
yang memang mutlak diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan
negara yang baru dibentuk. Perjanjian perdamaian dengan kabilah
dimaksudkan sebagai usaha memperkuat kedudukan Madinah.
Perang Badr
Perang Badr yang merupakan perang antara kaum muslimin
Madinah dan kaun musyrikin Quraisy Mekah terjadi pada tahun 2 H. Perang
ini merupakan puncak dari serangkaian pertikaian yang terjadi antara
pihak kaum muslimin Madinah dan kaum musyrikin Quraisy. Perang ini
berkobar setelah berbagai upaya perdamaian yang dilaksanakan Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam gagal.
Tentara muslimin Madinah terdiri dari 313 orang dengan perlengkapan
senjata sederhana yang terdiri dari pedang, tombak, dan panah. Berkat
kepemimpinan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dan semangat
pasukan yang membaja, kaum muslimin keluar sebagai pemenang. Abu Jahal,
panglima perang pihak pasukan Quraisy dan musuh utama Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam sejak awal, tewas dalam perang itu. Sebanyak
70 tewas dari pihak Quraisy, dan 70 orang lainnya menjadi tawanan. Di
pihak kaum muslimin, hanya 14 yang gugur sebagai syuhada. Kemenangan itu sungguh merupakan pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala (QS. 3: 123).
Orang-orang Yahudi Madinah tidak senang dengan kemenangan kaum
muslimin. Mereka memang tidak pernah sepenuh hati menerima perjanjian
yang dibuat antara mereka dan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
dalam Piagam Madinah.
Sementara itu, dalam menangani persoalan tawanan perang, Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam memutuskan untuk membebaskan para
tawanan dengan tebusan sesuai kemampuan masing-masing. Tawanan yang
pandai membaca dan menulis dibebaskan bila bersedia mengajari
orang-orang Islam yang masih buta aksara. Namun tawanan yang tidak
memiliki kekayaan dan kepandaian apa-apa pun tetap dibebaskan juga.
Tidak lama setelah perang Badr, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam mengadakan perjanjian dengan suku Badui
yang kuat. Mereka ingin menjalin hubungan dengan Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam karenan melihat kekuatan Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam. Tetapi ternyata suku-suku itu hanya memuja kekuatan semata.
Sesudah perang Badr, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam juga menyerang Bani Qainuqa,
suku Yahudi Madinah yang berkomplot dengan orang-orang Mekah. Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam lalu mengusir kaum Yahudi itu ke Suriah.
Perang Uhud
Perang yang terjadi di Bukit Uhud ini berlangsung pada tahun
3 H. Perang ini disebabkan karena keinginan balas dendam orang-orang
Quraisy Mekah yang kalah dalam perang Badr.
Pasukan Quraisy, dengan dibantu oleh kabilah Tihama dan Kinanah, membawa 3.000 ekor unta dan 200 pasukan berkuda di bawah pimpinan Khalid bin Walid. Tujuh ratus orang di antara mereka memakai baju besi.
Pasukan Quraisy, dengan dibantu oleh kabilah Tihama dan Kinanah, membawa 3.000 ekor unta dan 200 pasukan berkuda di bawah pimpinan Khalid bin Walid. Tujuh ratus orang di antara mereka memakai baju besi.
Adapun jumlah pasukan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam hanya berjumlah 700 orang.
Perang pun berkobar. Prajurit-prajurit Islam dapat memukul mundur
pasukan musuh yang jauh lebih besar itu. Tentara Quraisy mulai mundur
dan kocar-kacir meninggalkan harta mereka.
Melihat kemenangan yang sudah di ambang pintu, pasukan pemanah yang ditempatkan oleh Rasulullah di puncak bukit meninggalkan pos mereka dan turun untuk mengambil harta peninggalan musuh. Mereka lupa akan pesan Rasulullah untuk tidak meninggalkan pos mereka dalam keadaan bagaimana pun sebelum diperintahkan. Mereka tidak lagi menghiraukan gerakan musuh. Situasi ini dimanfaatkan musuh untuk segera melancarkan serangan balik. Tanpa konsentrasi penuh, pasukan Islam tak mampu menangkis serangan. Mereka terjepit, dan satu per satu pahlawan Islam berguguran.
Melihat kemenangan yang sudah di ambang pintu, pasukan pemanah yang ditempatkan oleh Rasulullah di puncak bukit meninggalkan pos mereka dan turun untuk mengambil harta peninggalan musuh. Mereka lupa akan pesan Rasulullah untuk tidak meninggalkan pos mereka dalam keadaan bagaimana pun sebelum diperintahkan. Mereka tidak lagi menghiraukan gerakan musuh. Situasi ini dimanfaatkan musuh untuk segera melancarkan serangan balik. Tanpa konsentrasi penuh, pasukan Islam tak mampu menangkis serangan. Mereka terjepit, dan satu per satu pahlawan Islam berguguran.
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sendiri terkena serangan musuh.
Sisa-sisa pasukan Islam diselamatkan oleh berita tidak benar yang
diterima musuh bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sudah meninggal.
Berita ini membuat mereka mengendurkan serangan untuk kemudian
mengakhiri pertempuran itu.
Perang Uhuh ini menyebabkan 70 orang pejuang Islam gugur sebagai syuhada.
Perang Khandaq
Perang yang terjadi pada tahun 5 H ini merupakan perang antara kaum
muslimin Madinah melawan masyarakat Yahudi Madinah yang mengungsi ke Khaibar yang bersekutu dengan masyarakat Mekah. Karena itu perang ini juga disebut sebagai Perang Ahzab (sekutu beberapa suku).
Pasukan gabungan ini terdiri dari 10.000 orang tentara. Salman al-Farisi, sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, mengusulkan agar kaum muslimin membuat parit pertahanan di bagian-bagian kota yang terbuka. Karena itulah perang ini disebut sebagai Perang Khandaq yang berarti parit.
Pasukan gabungan ini terdiri dari 10.000 orang tentara. Salman al-Farisi, sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, mengusulkan agar kaum muslimin membuat parit pertahanan di bagian-bagian kota yang terbuka. Karena itulah perang ini disebut sebagai Perang Khandaq yang berarti parit.
Tentara sekutu yang tertahan oleh parit tsb mengepung Madinah dengan
mendirikan perkemahan di luar parit hampir sebulan lamanya.
Pengepungan ini cukup membuat masyarakat Madinah menderita karena
hubungan mereka dengan dunia luar menjadi terputus. Suasana kritis itu
diperparah pula oleh pengkhianatan orang-orang Yahudi Madinah, yaitu Bani Quraizah, dibawah pimpinan Ka’ab bin Asad.
Namun akhirnya pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyelamatkan
kaum muslimin. Setelah sebulan mengadakan pengepungan, persediaan
makanan pihak sekutu berkurang. Sementara itu pada malam hari angin dan
badai turun dengan amat kencang, menghantam dan menerbangkan
kemah-kemah dan seluruh perlengkapan tentara sekutu. Sehingga mereka
terpaksa menghentikan pengepungan dan kembali ke negeri masing-masing
tanpa suatu hasil.
Para pengkhianat Yahudi dari Bani Quraizah dijatuhi hukuman mati.
Hal ini dinyatakan dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzâb: 25-26.
Perjanjian Hudaibiyah
Pada tahun 6 H, ketika ibadah haji sudah disyariatkan, hasrat kaum
muslimin untuk mengunjungi Mekah sangat bergelora. Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam memimpin langsung sekitar 1.400 orang kaum muslimin
berangkat umrah pada bulan suci Ramadhan, bulan yang dilarang adanya perang. Untuk itu mereka mengenakan pakaian ihram dan membawa senjata ala kadarnya untuk menjaga diri, bukan untuk berperang.
Sebelum tiba di Mekah, mereka berkemah di Hudaibiyah yang terletak beberapa kilometer dari Mekah.
Orang-orang kafir Quraisy melarang kaum muslimin masuk ke Mekah dengan menempatkan sejumlah besar tentara untuk berjaga-jaga.
Orang-orang kafir Quraisy melarang kaum muslimin masuk ke Mekah dengan menempatkan sejumlah besar tentara untuk berjaga-jaga.
Akhirnya diadakanlah Perjanjian Hudaibiyah antara Madinah dan Mekah, yang isinya antara lain:
Kedua belah pihak setuju untuk melakukan gencatan senjata selama 10 tahun.
Bila ada pihak Quraisy yang menyeberang ke pihak Muhammad, ia harus
dikembalikan. Tetapi bila ada pengikut Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam yang menyeberang ke pihak Quraisy, pihak Quraisy tidak harus
mengembalikannya ke pihak Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam.
Tiap kabilah bebas melakukan perjanjian baik dengan pihak Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam maupun dengan pihak Quraisy.
Kaum muslimin belum boleh mengunjungi Ka’bah pada tahun tsb, tetapi ditangguhkan sampai tahun berikutnya.
Jika tahun depan kaum muslimin memasuki kota Mekah, orang Quraisy harus keluar lebih dulu.
Kaum muslimin memasuki kota Mekah dengan tidak diizinkan membawa
senjata, kecuali pedang di dalam sarungnya, dan tidak boleh tinggal di
Mekah lebih dari 3 hari 3 malam.
Tujuan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam membuat perjanjian tsb
sebenarnya adalah berusaha merebut dan menguasai Mekah, untuk kemudian
dari sana menyiarkan Islam ke daerah-daerah lain.
Ada 2 faktor utama yang mendorong kebijaksanaan ini:
Ada 2 faktor utama yang mendorong kebijaksanaan ini:
Mekah adalah pusat keagamaan bangsa Arab, sehingga dengan melalui
konsolidasi bangsa Arab dalam Islam, diharapkan Islam dapat tersebar ke
luar.
Apabila suku Quraisy dapat diislamkan, maka Islam akan memperoleh
dukungan yang besar, karena orang-orang Quraisy mempunyai kekuasaan dan
pengaruh yang besar di kalangan bangsa Arab.
Setahun kemudian ibadah haji ditunaikan sesuai perjanjian. Banyak
orang Quraisy yang masuk Islam setelah menyaksikan ibadah haji yang
dilakukan kaum muslimin, disamping juga melihat kemajuan yang dicapai
oleh masyarakat Islam Madinah.
Penyebaran Islam ke negeri-negeri lain
Gencatan senjata dengan penduduk Mekah memberi kesempatan kepada
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam untuk mengalihkan perhatian ke
berbagai negeri-negeri lain sambil memikirkan bagaimana cara
mengislamkan mereka. Salah satu cara yang ditempuh oleh Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam kemudian adalah dengan mengirim utusan dan
surat ke berbagai kepala negara dan pemerintahan.
di antara raja-raja yang dikirimi surat oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam adalah raja Gassan
dari Iran, raja Mesir, Abessinia, Persia, dan Romawi. Memang dengan
cara itu tidak ada raja-raja yang masuk Islam, namun setidaknya risalah
Islam sudah sampai kepada mereka. Reaksi para raja itu pun ada yang
menolak dengan baik dan simpatik sambil memberikan hadiah, ada pula yang
menolak dengan kasar.
Raja Gassan termasuk yang menolak dengan kasar. Utusan yang dikirim
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dibunuhnya dengan kejam. Sebagai
jawaban, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam kemudian mengirim pasukan
perang sebanyak 3.000 orang dibawah pimpinan Zaid bin Haritsah.
Peperangan terjadi di Mu’tah, sebelah utara Semenanjung Arab.
Pasukan Islam mendapat kesulitan menghadapi tentara Gassan yang
mendapat bantuan langsung dari Romawi. Beberapa syuhada gugur dalam
pertempuran melawan pasukan berkekuatan ratusan ribu orang itu. di
antara mereka yang gugur adalah Zaid bin Haritsah sendiri, Ja’far bin
Abi Thalib, dan Abdullah bin Abi Rawahah.
Melihat kekuatan yang tidak seimbang itu, Khalid bin Walid, bekas
panglima Quraisy yang sudah masuk Islam, mengambil alih komando dan
memerintahkan pasukan Islam menarik diri dan kembali ke Madinah.
Perang melawan tentara Gassan dan pasukan Romawi ini disebut dengan Perang Mu’tah.
Kembali ke Mekah
Selama 2 tahun Perjanjian Hudaibiyah, dakwah Islam sudah menjangkau
Semenanjung Arab dan mendapat tanggapan yang positif. Hampir seluruh
Semenanjung Arab, termasuk suku-suku yang paling selatan, telah
menggabungkan diri ke dalam Islam. Hal ini membuat orang-orang Mekah
merasa terpojok. Perjanjian Hudaibiyah ternyata telah menjadi senjata
bagi umat Islam untuk memperkuat dirinya. Oleh karena itu secara
sepihak orang-orang Quraisy membatalkan perjanjian tsb. Mereka
menyerang Bani Khuza’ah yang berada di bawah perlindungan Islam hanya karena kabilah ini berselisih dengan Bani Bakar
yang menjadi sekutu Quraisy. Sejumlah orang Kuza’ah mereka bunuh dan
sebagian lainnya dicerai-beraikan. Bani Khuza’ah segera mengadu pada
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dan meminta keadilan.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam segera bertolak dengan 10.000
orang tentara untuk melawan kaum musyrik Mekah itu. Kecuali perlawanan
kecil dari kaum Ikrimah dan Safwan, Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam tidak mengalami kesukaran memasuki kota
Mekah. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam memasuki kota itu sebagai
pemenang. Pasukan Islam memasuki kota Mekah tanpa kekerasan. Mereka
kemudian menghancurkan patung-patung berhala di seluruh negeri. Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“…Kebenaran sudah datang dan yang bathil telah lenyap. Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.”(QS. 17: 81)
Setelah melenyapkan berhala-berhala itu, Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam berkhotbah menjanjikan ampunan bagi orang-orang Quraisy.
Setelah khotbah tsb, berbondong-bondong mereka datang dan masuk Islam.
Ka’bah bersih dari berhala dan tradisi-tradisi serta
kebiasaan-kebiasaan musyrik.
Sejak itu, Mekah kembali berada di bawah kekuasaan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
Setelah Mekah dapat dikalahkan, masih terdapat suku-suku Arab yang menentang, yaitu Bani Saqif, Bani Hawazin, Bani Nasr, dan Bani Jusyam.
Suku-suku ini berkomplot membentuk satu pasukan untuk memerangi Islam
karena ingin menuntut bela atas berhala-berhala mereka yang diruntuhkan
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan umat Islam di Ka’bah. Pasukan
mereka dipimpin oleh Malik bin Auf (dari Bani Nasr).
Dalam perjalanan mereka ke Mekah, mereka berkemah di Lembah Hunain yang sangat strategis.
Kurang lebih 2 minggu kemudian, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
memimpin sekitar 12.000 tentara menuju Hunain. Saat melihat banyak
pasukan Islam yang gugur, sebagian pasukan yang masih hidup menjadi
goyah dan kacau balau, sehingga Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
kemudian memberi semangat dan memimpin langsung peperangan tsb.
Akhirnya umat Islam berhasil menang. Pasukan musuh yang melarikan diri
ke Ta’if terus diburu selama beberap minggu sampai akhirnya mereka
menyerah. Pemimpin mereka, Malik bin Auf, menyatakan diri masuk Islam.
Dengan ditaklukannya Bani Saqif dan Bani Hawazin, kini seluruh
Semenanjung Arab berada di bawah satu kepemimpinan, yaitu kepemimpinan
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Melihat kenyataan itu, Heraclius,
pemimpin Romawi, menyusun pasukan besar di Suriah, kawasan utara
Semenanjung Arab yang merupakan daerah pendudukan Romawi. Dalam pasukan
besar itu bergabung Bani Gassan dan Bani Lachmides.
Dalam masa panen dan pada musim yang sangat panas, banyak pahlawan
Islam yang menyediakan diri untuk berperang bersama Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam. Pasukan Romawi kemudian menarik diri setelah melihat
betapa besarnya pasukan yang dipimpin Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sendiri tidak melakukan pengejaran,
melainkan ia berkemah di Tabuk. Disini Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam membuat beberapa perjanjian dengan penduduk setempat. Dengan
demikian daerah perbatasan itu dapat dirangkul ke dalam barisan Islam.
Perang yang terjadi di Tabuk ini merupakan perang terakhir yang diikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
Pada tahun 9 dan 10 H banyak suku dari seluruh pelosok Arab yang
mengutus delegasinya kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
untuk menyatakan tunduk kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
Masuknya orang Mekah ke dalam agama Islam mempunyai pengaruh yang amat
besar pada penduduk Arab. Oleh karena itu, tahun ini disebut dengan
Tahun Perutusan atau ‘Âm al-Bi’sah. Mereka yang datang ke
Mekah, rombongan demi rombongan, mempelajari ajaran-ajaran Islam dan
setelah itu kembali ke negeri masing-masing untuk mengajarkan kepada
kaumnya. Dengan cara ini, persatuan Arab terbentuk. Peperangan antar
suku yang berlangsung selama ini berubah menjadi persaudaraan agama.
Pada saat itu turunlah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu
lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka
bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. (QS. 110: 1-3)
Kini apa yang ditugaskan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sudah tercapai.
Di tengah-tengah suatu bangsa yang tenggelam dalam kebiadaban, telah lahir seorang nabi.
Ia telah berhasil membacakan ayat-ayat Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada mereka dan mensucikannya serta mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka, padahal sebelumnya mereka berada dalam kegelapan yang pekat.
Di tengah-tengah suatu bangsa yang tenggelam dalam kebiadaban, telah lahir seorang nabi.
Ia telah berhasil membacakan ayat-ayat Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada mereka dan mensucikannya serta mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka, padahal sebelumnya mereka berada dalam kegelapan yang pekat.
Pada awalnya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam mendapati
mereka bergelimang dalam ketakhyulan yang merendahkan derajat manusia,
lalu ia mengilhami mereka dengan kepercayaan kepada satu-satunya Tuhan
yang Maha Besar dan Maha Kasih Sayang.
Saat mereka bercerai-berai dan terlibat dalam peperangan yang seolah tak ada habisnya, dipersatukannya mereka dalam ikatan persaudaraan.
Saat mereka bercerai-berai dan terlibat dalam peperangan yang seolah tak ada habisnya, dipersatukannya mereka dalam ikatan persaudaraan.
Kalau sebelumnya Semenanjung Arab berada dalam kegelapan rohani,
maka ia datang membawa cahaya terang-benderang untuk menyinari rohani
mereka.
Pekerjaannya selesai sudah, dan seluruhnya dikerjakan dengan baik semasa hidupnya.
Disinilah letak keunggulan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dibanding dengan nabi-nabi yang lain.
Disinilah letak keunggulan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dibanding dengan nabi-nabi yang lain.
Ibadah haji terakhir
Pada tahun 10 H, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mengerjakan ibadah haji yang terakhir, yang disebut juga dengan haji wada’.
Pada tanggal 25 Zulkaidah 10/23 Februari 632 Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam meninggalkan Madinah. Sekitar seratus ribu jemaah turut
menunaikan ibadah haji bersamanya.
Pada waktu wukuf di Arafah, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wassalam menyampaikan khotbahnya yang sangat bersejarah. Isi khotbah
itu antara lain:
larangan menumpahkan darah kecuali dengan haq (benar) dan mengambil harta orang lain dengan bathil (salah), karena nyawa dan harta benda adalah suci.
larangan riba dan larangan menganiaya
perintah untuk memperlakukan para istri dengan baik serta lemah lembut
perintah menjauhi dosa
semua pertengkaran di antara mereka di zaman Jahiliah harus dimaafkan
pembalasan dengan tebusan darah sebagaimana yang berlaku di zaman Jahiliyah tidak lagi dibenarkan
persaudaraan dan persamaan di antara manusia harus ditegakkan
hamba sahaya harus diperlakukan dengan baik, yaitu mereka memakan
apa yang dimakan majikannya dan memakai apa yang dipakai majikannya
dan yang terpenting, bahwa umat Islam harus selalu berpegang teguh
pada dua sumber yang tak akan pernah usang, yaitu Al-Qur’an dan Sunah
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
Setelah itu Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam bertanya kepada seluruh
jemaah, “Sudahkan aku menyampaikan amanat Allah, kewajibanku, kepada
kamu sekalian?”
Jemaah yang ada di hadapannya segera menjawab, “Ya, memang demikian adanya.”
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam kemudian menengadah ke langit sambil mengucapkan, “Ya Allah, Engkaulah menjadi saksiku.”
Dengan kata-kata seperti itu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam mengakhiri khotbahnya.
Jemaah yang ada di hadapannya segera menjawab, “Ya, memang demikian adanya.”
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam kemudian menengadah ke langit sambil mengucapkan, “Ya Allah, Engkaulah menjadi saksiku.”
Dengan kata-kata seperti itu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam mengakhiri khotbahnya.
Kembali ke Madinah
Setelah upacara haji yang lain disempurnakan, Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wassalam kembali ke Madinah. Disinilah ia
menghabiskan sisa hidupnya. Ia mengatur organisasi masyarakat di
kabilah-kabilah yang telah memeluk Islam dan menjadi bagian dari
persekutuan Islam. Petugas keamanan dan para da’i dikirimnya ke
berbagai daerah untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam, mengatur
peradilan Islam, dan memungut zakat. Salah seorang di antara petugas
itu adalah Mu’az bin Jabal yang dikirim oleh Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam ke Yaman. Ketika itulah hadist Mu’az yang terkenal muncul,
yaitu perintah Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam agar Mu’az menggunakan
pertimbangan akalnya dalam mengatur persoalan-persoalan agama apabila
ia tidak menemukan petunjuk dalam Al-Qur’an dan hadist Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam.
Pada saat-saat itu pula wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang terakhir turun:
“… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nimat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agamamu …” (QS. 5: 3)
Mendengar ayat ini, banyak orang yang bergembira karena telah
sempurna agama mereka, tetapi ada pula yang menangis, seperti Abu
Bakar, karena mengetahui bahwa ayat itu jelas merupakan pertanda
berakhirnya tugas Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
Wafatnya Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam
Dua bulan setelah menunaikan ibadah haji wada’ di Madinah, Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam sakit demam. Meskipun badannya mulai lemah,
ia tetap memimpin shalat berjamaah. Baru setelah kondisinya tidak
memungkinkan lagi, yaitu 3 hari menjelang wafatnya, ia tidak mengimami
shalat berjamaah. Sebagai gantinya ia menunjuk Abu Bakar sebagai imam
shalat. Tenaganya dengan cepat semakin berkurang.
Pada tanggal 13 Rabiulawal 11/8 Juni 632, Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wassalam menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumah istrinya,
Aisyah binti Abu Bakar, dengan wasiat terakhir, “Ingatlah shalat, dan taubatlah…”.
Ummul Mukminin
Setelah Khadijah meninggal, Nabi Muhammad menikah lagi sebanyak 10
kali, sehingga jumlah wanita yang menjadi istrinya ada 11 orang.
Kesebelas wanita ini disebut sebagai Ummul Mukminin (ibu dari
orang-orang yang beriman). Sebutan tsb menunjukkan bahwa para istri
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam adalah wanita-wanita yang terpilih dan
dimuliakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menikahi para wanita itu karena
beberapa alasan, antara lain untuk melindungi mereka dari tekanan kaum
musyrikin, membebaskannya dari status tawanan perang, dan mengangkat
derajatnya. Tidak jarang pernihakan yang dilakukan Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam menciptakan hubungan perdamaian antara dua suku yang
sebelumnya saling bermusuhan.
Para Ummul Mukminin itu adalah:
Khadijah binti Khuwailid
Sa’udah binti Zam’ah
Aisyah binti Abu Bakar as-Sidiq
Zainab binti Huzaimah bin Abdullah bin Umar
Juwairiyah binti Haris
Sofiyah binti Hay bin Akhtab
Hindun binti Abi Umaiyah bin Mugirah bin Abdullah bin Amr bin Mahzum
Ramlah binti Abu Sufyan
Hafsah binti Umar bin Khattab
Zainab binti Jahsy bin Ri’ah bin Ja’mur bin Sabrah bin Murrah
Maimunah binti Haris
Beberapa dari istri Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam ini juga
menjadi periwayat hadist, yaitu Aisyah, Hafsah, dan Zainab binti Jahsy.
0 komentar:
Posting Komentar