Perkembangan Islam di Indonesia
A. Awal Masuknya Islam di Indonesia
Ketika
Islam datang di Indonesia, berbagai agama dan kepercayaan seperti
animisme, dinamisme, Hindu dan Budha, sudah banyak dianut oleh bangsa
Indonesia bahkan dibeberapa wilayah kepulauan Indonesia telah berdiri
kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan Budha. Misalnya kerajaan Kutai
di Kalimantan Timur, kerajaan Taruma Negara di Jawa Barat, kerajaan
Sriwijaya di Sumatra dan sebagainya. Namun Islam datang ke
wilayah-wilayah tersebut dapat diterima dengan baik, karena Islam datang
dengan membawa prinsip-prinsip perdamaian, persamaan antara manusia
(tidak ada kasta), menghilangkan perbudakan dan yang paling penting juga
adalah masuk kedalam Islam sangat mudah hanya dengan membaca dua
kalimah syahadat dan tidak ada paksaan.
Tentang kapan Islam datang
masuk ke Indonesia, menurut kesimpulan seminar “ masuknya Islam di
Indonesia” pada tanggal 17 s.d 20 Maret 1963 di Medan, Islam masuk ke
Indonesia pada abad pertama hijriyah atau pada abad ke tujuh masehi.
Menurut sumber lain menyebutkan bahwa Islam sudah mulai ekspedisinya ke
Nusantara pada masa Khulafaur Rasyidin (masa pemerintahan Abu Bakar
Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib),
disebarkan langsung dari Madinah.
B. Cara Masuknya Islam di Indonesia
Islam
masuk ke Indonesia, bukan dengan peperangan ataupun penjajahan. Islam
berkembang dan tersebar di Indonesia justru dengan cara damai dan
persuasif berkat kegigihan para ulama. Karena memang para ulama
berpegang teguh pada prinsip Q.S. al-Baqarah ayat 256 :
Artinya :
Tidak ada paksaan dalam agama (Q.S. al-Baqarah ayat 256)
Adapun cara masuknya Islam di Indonesia melalui beberapa cara antara lain ;
1. Perdagangan
Jalur ini dimungkinkan karena orang-orang melayu telah lama menjalin
kontak dagang dengan orang Arab. Apalagi setelah berdirinya kerajaan
Islam seperti kerajaan Islam Malaka dan kerajaan Samudra Pasai di Aceh,
maka makin ramailah para ulama dan pedagang Arab datang ke Nusantara
(Indonesia). Disamping mencari keuntungan duniawi juga mereka mencari
keuntungan rohani yaitu dengan menyiarkan Islam. Artinya mereka
berdagang sambil menyiarkan agama Islam.
2. Kultural
Artinya
penyebaran Islam di Indonesia juga menggunakan media-media kebudayaan,
sebagaimana yang dilakukan oleh para wali sanga di pulau jawa. Misalnya
Sunan Kali Jaga dengan pengembangan kesenian wayang. Ia mengembangkan
wayang kulit, mengisi wayang yang bertema Hindu dengan ajaran Islam.
Sunan Muria dengan pengembangan gamelannya. Kedua kesenian tersebut
masih digunakan dan digemari masyarakat Indonesia khususnya jawa sampai
sekarang. Sedang Sunan Giri menciptakan banyak sekali mainan anak-anak,
seperti jalungan, jamuran, ilir-ilir dan cublak suweng dan lain-lain.
3. Pendidikan
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang paling
strategis dalam pengembangan Islam di Indonesia. Para da’i dan muballig
yang menyebarkan Islam diseluruh pelosok Nusantara adalah keluaran
pesantren tersebut. Datuk Ribandang yang mengislamkan kerajaan
Gowa-Tallo dan Kalimantan Timur adalah keluaran pesantren Sunan Giri.
Santri-santri Sunan Giri menyebar ke pulau-pulau seperti Bawean,
Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga ke Nusa Tenggara. Dan sampai
sekarang pesantren terbukti sangat strategis dalam memerankan kendali
penyebaran Islam di seluruh Indonesia.
4. Kekuasaan politik
Artinya
penyebaran Islam di Nusantara, tidak terlepas dari dukungan yang kuat
dari para Sultan. Di pulau Jawa, misalnya keSultanan Demak, merupakan
pusat dakwah dan menjadi pelindung perkembangan Islam. Begitu juga
raja-raja lainnya di seluruh Nusantara. Raja Gowa-Tallo di Sulawesi
selatan melakukan hal yang sama sebagaimana yang dilakukan oleh Demak di
Jawa. Dan para Sultan di seluruh Nusantara melakukan komunikasi, bahu
membahu dan tolong menolong dalam melindungi dakwah Islam di Nusantara.
Keadaan ini menjadi cikal bakal tumbuhnya negara nasional Indonesia
dimasa mendatang.
C. Perkembangan Islam di Beberapa Wilayah Nusantara
1. Di Sumatra
Kesimpulan
hasil seminar di Medan tersebut di atas, dijelaskan bahwa wilayah
Nusantara yang mula-mula dimasuki Islam adalah pantai barat pulau
Sumatra dan daerah Pasai yang terletak di Aceh utara yang kemudian di
masing-masing kedua daerah tersebut berdiri kerajaan Islam yang pertama
yaitu kerajaan Islam Perlak dan Samudra Pasai.
Menurut keterangan
Prof. Ali Hasmy dalam makalah pada seminar “Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam di Aceh” yang digelar tahun 1978 disebutkan bahwa
kerajaan Islam yang pertama adalah kerajaan Perlak. Namun ahli sejarah
lain telah sepakat, Samudra Pasailah kerajaan Islam yang pertama di
Nusantara dengan rajanya yang pertama adalah Sultan Malik Al-Saleh
(memerintah dari tahun 1261 s.d 1297 M). Sultan Malik Al-Saleh sendiri
semula bernama Marah Silu. Setelah mengawini putri raja Perlak kemudian
masuk Islam berkat pertemuannya dengan utusan Syarif Mekkah yang
kemudian memberi gelar Sultan Malik Al-Saleh.
Kerajaan Pasai sempat
diserang oleh Majapahit di bawah panglima Gajah Mada, tetapi bisa
dihalau. Ini menunjukkan bahwa kekuatan Pasai cukup tangguh dikala itu.
Baru pada tahun 1521 di taklukkan oleh Portugis dan mendudukinya selama
tiga tahun. Pada tahun 1524 M Pasai dianeksasi oleh raja Aceh, Ali
Mughayat Syah. Selanjutnya kerajaan Samudra Pasai berada di bawah
pengaruh keSultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam
(sekarang dikenal dengan kabupaten Aceh Besar).
Munculnya kerajaan
baru di Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam, hampir bersamaan
dengan jatuhnya kerajaan Malaka karena pendudukan Portugis. Dibawah
pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim kerajaan Aceh
terus mengalami kemajuan besar. Saudagar-saudagar muslim yang semula
berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatannya ke Aceh. Kerajaan ini
mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Iskandar Muda Mahkota
Alam ( 1607 - 1636).
Kerajaan Aceh ini mempunyai peran penting dalam
penyebaran Agama Islam ke seluruh wilayah Nusantara. Para da’i, baik
lokal maupun yang berasal dari Timur Tengah terus berusaha menyampaikan
ajaran Islam ke seluruh wilayah Nusantara. Hubungan yang telah terjalin
antara kerajaan Aceh dengan Timur Tengah terus semakin berkembang. Tidak
saja para ulama dan pedagang Arab yang datang ke Indonesia, tapi
orang-orang Indonesia sendiri banyak pula yang hendak mendalami Islam
datang langsung ke sumbernya di Mekah atau Madinah. Kapal-kapal dan
ekspedisi dari Aceh terus berlayar menuju Timur Tengah pada awal abad ke
16. Bahkan pada tahun 974 H. atau 1566 M dilaporkan ada 5 kapal dari
kerajaan Asyi (Aceh) yang berlabuh di bandar pelabuhan Jeddah. Ukhuwah
yang erat antara Aceh dan Timur Tengah itu pula yang membuat Aceh
mendapat sebutan Serambi Mekah.
2. Di Jawa
Benih-benih
kedatangan Islam ke tanah Jawa sebenarnya sudah dimulai pada abad
pertama Hijriyah atau abad ke 7 M. Hal ini dituturkan oleh Prof. Dr.
Buya Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam, bahwa pada tahun 674 M
sampai tahun 675 M. sahabat Nabi, Muawiyah bin Abi Sufyan pernah singgah
di tanah Jawa (Kerajaan Kalingga) menyamar sebagai pedagang. Bisa jadi
Muawiyah saat itu baru penjajagan saja, tapi proses dakwah selanjutnya
dilakukan oleh para da’i yang berasal dari Malaka atau kerajaan Pasai
sendiri. Sebab saat itu lalu lintas atau jalur hubungan antara Malaka
dan Pasai disatu pihak dengan Jawa dipihak lain sudah begitu pesat.
Adapun gerakan dakwah Islam di Pulau Jawa selanjutnya dilakukan oleh para Wali Sanga, yaitu :
a. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
Beliau
dikenal juga dengan sebutan Syeikh Magribi. Ia dianggap pelopor
penyebaran Islam di Jawa. Beliau juga ahli pertanian, ahli tata negara
dan sebagai perintis lembaga pendidikan pesantren. Wafat tahun 1419
M.(882 H) dimakamkan di Gapura Wetan Gresik
b. Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel)
Dilahirkan di Aceh tahun 1401 M. Ayahnya orang Arab dan ibunya orang
Cempa, ia sebagai mufti dalam mengajarkan Islam tak kenal kompromi
dengan budaya lokal. Wejangan terkenalnya Mo Limo yang artinya menolak
mencuri, mabuk, main wanita, judi dan madat, yang marak dimasa
Majapahit. Beliau wafat di desa Ampel tahun 1481 M.
Jasa-jasa Sunan Ampel :
1)
Mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya. Dari pesantren ini
lahir para mubalig kenamaan seperti : Raden Paku (Sunan Giri), Raden
Fatah (Sultan Demak pertama), Raden Makhdum (Sunan Bonang), Syarifuddin
(Sunan Drajat) dan Maulana Ishak yang pernah diutus untuk menyiarkan
Islam ke daerah Blambangan.
2) Berperan aktif dalam membangun Masjid Agung Demak yang dibangun pada tahun 1479 M.
3) Mempelopori berdirinya kerajaan Islam Demak dan ikut menobatkan Raden Patah sebagai Sultan pertama.
c. Sunan Giri (Raden Aenul Yaqin atau Raden Paku)
Ia putra Syeikh Yakub bin Maulana Ishak. Ia sebagai ahli fiqih dan
menguasai ilmu Falak. Dimasa menjelang keruntuhan Majapahit, ia
dipercaya sebagai raja peralihan sebelum Raden Patah naik menjadi Sultan
Demak. Ketika Sunan Ampel wafat, ia menggantikannya sebagai mufti tanah
Jawa.
d. Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
Putra Sunan Ampel
lahir tahun 1465. Sempat menimba ilmu ke Pasai bersama-sama Raden Paku.
Beliaulah yang mendidik Raden Patah. Beliau wafat tahun 1515 M.
e. Sunan Kalijaga (Raden Syahid)
Ia tercatat paling banyak menghasilkan karya seni berfalsafah Islam.
Ia membuat wayang kulit dan cerita wayang Hindu yang diislamkan. Sunan
Giri sempat menentangnya, karena wayang Beber kala itu menggambarkan
gambar manusia utuh yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kalijaga
mengkreasi wayang kulit yang bentuknya jauh dari manusia utuh. Ini
adalah sebuah usaha ijtihad di bidang fiqih yang dilakukannya dalam
rangka dakwah Islam.
f. Sunan Drajat
Nama aslinya adalah
Syarifudin (putra Sunan Ampel, adik Sunan Bonang). Dakwah beliau
terutama dalam bidang sosial. Beliau juga mengkader para da’i yang
berdatangan dari berbagai daerah, antara lain dari Ternate dan Hitu
Ambon.
g. Syarif Hidayatullah
Nama lainnya adalah Sunan
Gunung Jati yang kerap kali dirancukan dengan Fatahillah, yang
menantunya sendiri. Ia memiliki keSultanan sendiri di Cirebon yang
wilayahnya sampai ke Banten. Ia juga salah satu pembuat sokoguru masjid
Demak selain Sunan Ampel, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Keberadaan
Syarif Hidayatullah dengan kesultanannya membuktikan ada tiga kekuasaan
Islam yang hidup bersamaan kala itu, yaitu Demak, Giri dan Cirebon.
Hanya saja Demak dijadikan pusat dakwah, pusat studi Islam sekaligus
kontrol politik para wali.
h. Sunan Kudus
Nama aslinya adalah
Ja’far Sadiq. Lahir pada pertengahan abad ke 15 dan wafat tahun 1550 M.
(960 H). Beliau berjasa menyebarkan Islam di daerah kudus dan
sekitarnya. Ia membangun masjid menara Kudus yang sangat terkenal dan
merupakan salah satu warisan budaya Nusantara.
i. Sunan Muria
Nama aslinya Raden Prawoto atau Raden Umar Said putra Sunan Kalijaga.
Beliau menyebarkan Islam dengan menggunakan sarana gamelan, wayang serta
kesenian daerah lainnya. Beliau dimakamkan di Gunung Muria, disebelah
utara kota Kudus.
Diparuh awal abad 16 M, Jawa dalam genggaman Islam.
Penduduk merasa tentram dan damai dalam ayoman keSultanan Demak di
bawah kepemimpinan Sultan Syah Alam Akbar Al Fatah atau Raden Patah.
Hidup mereka menemukan pedoman dan tujuan sejatinya setelah mengakhiri
masa Siwa-Budha serta animisme. Merekapun memiliki kepastian hidup bukan
karena wibawa dan perbawa sang Sultan, tetapi karena daulah hukum yang
pasti yaitu syari’at Islam
“Salokantara” dan “Jugul Muda” itulah dua
kitab undang-undang Demak yang berlandaskan syari’at Islam. Dihadapan
peraturan negeri pengganti Majapahit itu, semua manusia sama derajatnya,
sama-sama khalifah Allah di dunia. Sultan-Sultan Demak sadar dan ikhlas
dikontrol oleh kekuasaan para Ulama atau Wali. Para Ulama itu berperan
sebagai tim kabinet atau merangkap sebagai dewan penasehat Sultan.
Dalam
versi lain dewan wali sanga dibentuk sekitar 1474 M. oleh Raden Rahmat
(Sunan Ampel), membawahi Raden Hasan, Maftuh Ibrahim, Qasim (Sunan
Drajat) Usman Haji (ayah Sunan Kudus, Raden Ainul Yakin (Sunan Gresik),
Syekh Sutan Maharaja Raden Hamzah, dan Raden Mahmud. Beberapa tahun
kemudian Syekh Syarif Hidayatullah dari Cirebon bergabung di dalamnya.
Sunan Kalijaga dipercaya para wali sebagai muballig keliling. Disamping
wali-wali tersebut, masih banyak Ulama yang dakwahnya satu kordinasi
dengan Sunan Ampel hanya saja, sembilan tokoh Sunan Wali Sanga yang
dikenal selama ini memang memiliki peran dan karya yang menonjol dalam
dakwahnya.
3. Di Sulawesi
Ribuan pulau yang ada di Indonesia,
sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau ke pulau. Baik atas
motivasi ekonomi maupun motivasi politik dan kepentingan kerajaan.
Hubungan ini pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes
atau Sulawesi. Menurut catatan company dagang Portugis pada tahun 1540
saat datang ke Sulawesi, di tanah ini sudah ditemui pemukiman muslim di
beberapa daerah. Meski belum terlalu banyak, namun upaya dakwah terus
berlanjut dilakukan oleh para da’i di Sumatra, Malaka dan Jawa hingga
menyentuh raja-raja di kerajaan Gowa dan Tallo atau yang dikenal dengan
negeri Makasar, terletak di semenanjung barat daya pulau Sulawesi.
Kerajaan
Gowa ini mengadakan hubungan baik dengan kerajaan Ternate dibawah
pimpinan Sultan Babullah yang telah menerima Islam lebih dahulu. Melalui
seorang da’i bernama Datuk Ri Bandang agama Islam masuk ke kerajaan ini
dan pada tanggal 22 September 1605 Karaeng Tonigallo, raja Gowa yang
pertama memeluk Islam yang kemudian bergelar Sultan Alaudin Al Awwal
(1591-1636 ) dan diikuti oleh perdana menteri atau Wazir besarnya,
Karaeng Matopa.
Setelah resmi menjadi kerajaan bercorak Islam Gowa
Tallo menyampaikan pesan Islam kepada kerajaan-kerajaan lain seperti
Luwu, Wajo, Soppeng dan Bone. Raja Luwu segera menerima pesan Islam
diikuti oleh raja Wajo tanggal 10 Mei 1610 dan raja Bone yang bergelar
Sultan Adam menerima Islam tanggal 23 November 1611 M. Dengan demikian
Gowa (Makasar) menjadi kerajaan yang berpengaruh dan disegani.
Pelabuhannya sangat ramai disinggahi para pedagang dari berbagai daerah
dan manca negara. Hal ini mendatangkan keuntungan yang luar biasa bagi
kerajaan Gowa (Makasar). Puncak kejayaan kerajaan Makasar terjadi pada
masa Sultan Hasanuddin (1653-1669).
4. Di Kalimantan
Islam
masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo melalui tiga
jalur. Jalur pertama melalui Malaka yang dikenal sebagai kerajaan Islam
setelah Perlak dan Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis kian
membuat dakwah semakin menyebar sebab para muballig dan komunitas muslim
kebanyakan mendiamai pesisir barat Kalimantan.
Jalur kedua, Islam
datang disebarkan oleh para muballig dari tanah Jawa. Ekspedisi dakwah
ke Kalimantan ini mencapai puncaknya saat kerajaan Demak berdiri. Demak
mengirimkan banyak Muballig ke negeri ini. Para da’i tersebut berusaha
mencetak kader-kader yang akan melanjutkan misi dakwah ini. Maka
lahirlah ulama besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad Al
Banjari.
Jalur ketiga para da’i datang dari Sulawesi (Makasar)
terutama da’i yang terkenal saat itu adalah Datuk Ri Bandang dan Tuan
Tunggang Parangan.
a. Kalimantan Selatan
Masuknya Islam di
Kalimantan Selatan adalah diawali dengan adanya krisis kepemimpinan
dipenghujung waktu berakhirnya kerajaan Daha Hindu. Saat itu Raden
Samudra yang ditunjuk sebagai putra mahkota oleh kakeknya, Raja Sukarama
minta bantuan kepada kerajaan Demak di Jawa dalam peperangan melawan
pamannya sendiri, Raden Tumenggung Sultan Demak (Sultan Trenggono)
menyetujuinya, asal Raden Samudra kelak bersedia masuk Islam.
Dalam
peperangan itu Raden Samudra mendapat kemenangan. Maka sesuai dengan
janjinya ia masuk Islam beserta kerabat keraton dan penduduk Banjar.
Saat itulah tahun (1526 M) berdiri pertama kali kerajaan Islam Banjar
dengan rajanya Raden Samudra dengan gelar Sultan Suryanullah atau
Suriansyah. Raja-raja Banjar berikutnya adalah Sultan Rahmatullah (putra
Sultan Suryanullah), Sultan Hidayatullah (putra Sultan Rahmatullah dan
Marhum Panambahan atau Sultan Musta’in Billah. Wilayah yang dikuasainya
meliputi daerah Sambas, Batang Lawai, Sukadana, Kota Waringin, Sampit
Medawi, dan Sambangan.
b. Kalimantan Timur
Di Kalimantan Timur
inilah dua orang da’i terkenal datang, yaitu Datuk Ri Bandang dan Tuan
Tunggang Parangan, sehingga raja Kutai (raja Mahkota) tunduk kepada
Islam diikuti oleh para pangeran, para menteri, panglima dan hulubalang.
Untuk kegiatan dakwah ini dibangunlah sebuah masjid.
Tahun 1575 M,
raja Mahkota berusaha menyebarkan Islam ke daerah-daerah sampai ke
pedalaman Kalimantan Timur sampai daerah Muara Kaman, dilanjutkan oleh
Putranya, Aji Di Langgar dan para penggantinya.
5. Di Maluku.
Kepulauan
Maluku terkenal di dunia sebagai penghasil rempah-rempah, sehingga
menjadi daya tarik para pedagang asing, tak terkecuali para pedagang
muslim baik dari Sumatra, Jawa, Malaka atau dari manca negara. Hal ini
menyebabkan cepatnya perkembangan dakwah Islam di kepulauan ini.
Islam
masuk ke Maluku sekitar pertengahan abad ke 15 atau sekitar tahun 1440
dibawa oleh para pedagang muslim dari Pasai, Malaka dan Jawa
(terutama para da’i yang dididik oleh para Wali Sanga di Jawa). Tahun
1460 M, Vongi Tidore, raja Ternate masuk Islam. Namun menurut H.J De
Graaft (sejarawan Belanda) bahwa raja Ternate yang benar-benar muslim
adalah Zaenal Abidin (1486-1500 M). Setelah itu Islam berkembang ke
kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku. Tetapi diantara sekian banyak
kerajaan Islam yang paling menonjol adalah dua kerajaan , yaitu Ternate
dan Tidore.
Raja-raja Maluku yang masuk Islam seperti :
a. Raja Ternate yang bergelar Sultan Mahrum (1465-1486).
b.
Setelah beliau wafat digantikan oleh Sultan Zaenal Abidin yang sangat
besar jasanya dalam menyiarkan Islam di kepulauan Maluku, Irian bahkan
sampai ke Filipina.
c. Raja Tidore yang kemudian bergelar Sultan Jamaluddin.
d. Raja Jailolo yang berganti nama dengan Sultan Hasanuddin.
e. Pada tahun 1520 Raja Bacan masuk Islam dan bergelar Zaenal Abidin.
Selain
Islam masuk dan berkembang di Maluku, Islam juga masuk ke Irian yang
disiarkan oleh raja-raja Islam di Maluku, para pedagang dan para
muballig yang juga berasal dari Maluku.
Daerah-daerah di Irian Jaya yang dimasuki Islam adalah : Miso, Jalawati, Pulau Waigio dan Pulau Gebi.
D. Peranan Umat Islam dalam Mengusir Penjajah.
Ketika
kaum penjajah datang, Islam sudah mengakar dalam hati bangsa Indonesia,
bahkan saat itu sudah berdiri beberapa kerajaan Islam, seperti Samudra
Pasai, Perlak, Demak dan lain-lain. Jauh sebelum mereka datang, umat
Islam Indonesia sudah memiliki identitas bendera dan warnanya adalah
merah putih. Ini terinspirasi oleh bendera Rasulullah saw. yang juga
berwarna merah dan putih. Rasulullah saw pernah bersabda :” Allah telah
menundukkan pada dunia, timur dan barat. Aku diberi pula warna yang
sangat indah, yakni Al-Ahmar dan Al-Abyadl, merah dan putih “. Begitu
juga dengan bahasa Indonesia. Tidak akan bangsa ini mempunyai bahasa
Indonesia kecuali ketika ulama menjadikan bahasa ini bahasa pasar, lalu
menjadi bahasa ilmu dan menjadi bahasa jurnalistik.
Beberapa ajaran
Islam seperti jihad, membela yang tertindas, mencintai tanah air dan
membasmi kezaliman adalah faktor terpenting dalam membangkitkan semangat
melawan penjajah. Bisa dikatakan bahwa hampir semua tokoh pergerakan,
termasuk yang berlabel nasionalis radikal sekalipun sebenarnya
terinspirasi dari ruh ajaran Islam. Sebagai bukti misalnya Ki Hajar
Dewantara (Suwardi Suryaningrat) tadinya berasal dari Sarekat Islam
(SI); Soekarno sendiri pernah jadi guru Muhammadiyah dan pernah nyantri
dibawah bimbingan Tjokroaminoto bersama S.M Kartosuwiryo yang kelak
dicap sebagai pemberontak DI/TII; RA Kartini juga sebenarnya bukanlah
seorang yang hanya memperjuangkan emansipasi wanita. Ia seorang pejuang
Islam yang sedang dalam perjalanan menuju Islam yang kaaffah. Ketika
sedang mencetuskan ide-idenya, ia sedang beralih dari kegelapan
(jahiliyah) kepada cahaya terang (Islam) atau minaz-zulumati ilannur
(habis gelap terbitlah terang). Patimura seorang pahlawan yang diklaim
sebagai seorang Nasrani sebenarnya dia adalah seorang Islam yang taat.
Tulisan tentang Thomas Mattulessy hanyalah omong kosong. Tokoh Thomas
Mattulessy yang ada adalah Kapten Ahmad Lussy atau Mat Lussy, seorang
muslim yang memimpin perjuangan rakyat Maluku melawan penjajah. Demikian
pula Sisingamangaraja XII menurut fakta sejarah adalah seorang muslim.
Semangat
jihad yang dikumandangkan para pahlawan semakin terbakar ketika para
penjajah berusaha menyebarkan agama Nasrani kepada bangsa Indonesia yang
mayoritas sudah beragama Islam yang tentu saja dengan cara-cara yang
berbeda dengan ketika Islam datang dan diterima oleh mereka, bahwa Islam
tersebar dan dianut oleh mereka dengan jalan damai dan persuasif yakni
lewat jalur perdagangan dan pergaulan yang mulia bahkan wali sanga
menyebarkannya lewat seni dan budaya. Para da’i Islam sangat paham dan
menyadari akan kewajiban menyebarkan Islam kepada orang lain, tapi juga
mereka sangat paham bahwa tugasnya hanya sekedar menyampaikan. Hal ini
sesuai dengan Q.S. Yasin ayat 17 :”Tidak ada kewajiban bagi kami
hanyalah penyampai (Islam) yang nyata”. (Q.S. Yasin : 17)
Di bawah ini hanya sebagian kecil contoh atau bukti sejarah perjuangan umat Islam Indonesia dalam mengusir penjajah.
1. Penjajah Portugis
Kaum
penjajah yang mula-mula datang ke Nusantara ialah Portugis dengan
semboyan Gold (tambang emas), Glory (kemulyaan, keagungan), dan Gospel
(penyebaran agama Nasrani).
Untuk menjalankan misinya itu Portugis
berusaha dengan menghalalkan semua cara. Apalagi saat itu mereka masih
menyimpan dendamnya terhadap bangsa Timur (Islam) setelah usai Perang
Salib . Dengan modal restu sakti dari Paus Alexander VI dalam suatu
dokumen bersejarah yang terkenal dengan nama “Perjanjian Tordesillas”
yang berisi, bahwa kekuasaan di dunia diserahkan kepada dua rumpun
bangsa: Spanyol dan Portugis. Dunia sebelah barat menjadi milik Spanyol
dan sebelah timur termasuk Indonesia menjadi milik Portugis.
Karena
itu Portugis sangat bernafsu untuk menguasai negeri Zamrud Katulistiwa
yang penuh dengan rempah-rempah yang menggiurkan. Pertama mereka
menyerang Malaka dan menguasainya (1511 M), kemudian Samudra Pasai
tahun 1521 M. Mulailah mereka mengusik ketenangan berniaga di perairan
nusantra yang saat itu banyak para pedagang muslim dari Arab. Demikian
pula para pedagang dari Demak dan Malaka yang saat itu sudah terjalin
sangat erat. Portugis nampaknya sengaja ingin mematahkan hubungan Demak
dan Malaka, dan sekaligus tujuannya ingin merebut rempah-rempah yang
merupakan komoditi penting saat itu. Banyak kapal-kapal mereka dirampas
oleh Portugis termasuk kapal pedagang muslim Arab.
Dengan sikapnya
yang tak bersahabat dan arogan dari penjajah Portugis, seluruh kerajaan
yang ada di Nusantara kemudian melakukan perlawanan kepada Portugis
meskipun dalam waktu dan tempat yang berlainan. Kerajaan Aceh misalnya
sempat minta bantuan kerajaan Usmani di Turki dan negara-negara Islam
lain di Nusantara, sehingga dapat membangun kekuatan angkatan perangnya
dan dapat menahan serangan Portugis. Demikian pula, mendengar perlakuan
Portugis yang zalim terhadap para pedagang warga Demak muslim, Sultan
Demak dan para wali merasa terpanggil untuk berjihad. Halus dihadapi
dengan halus, keras dilawan dengan keras. Kalau orang-orang Portugis
mengobarkan semangat Perang Salib, maka Sultan Demak dan para wali
mengobarkan semangat jihad Perang Sabil.
Pada tahun 1512 Demak
dibawah pimpinan Adipati Yunus memimpin sendiri armada lautnya menyerang
Portugis yang saat itu sudah menguasai Malaka, tapi kali ini mengalami
kegagalan karena persenjataan lawan begitu tangguh penyerangan kedua
kalinya dilakukan tahun 1521 dengan mengerahkan armada yang berkekuatan
100 buah kapal dan dibantu oleh balatentara Aceh dan Sultan Malaka yang
telah terusir, yang sasarannya sama yaitu mengusir pasukan asing
Portugis dari wilayah Nusantara demi mengamankan jalur niaga dan dakwah
yang memanjang dari Malaka-Demak dan Maluku. Namun perjuangannya tidak
berhasil pula, bahkan ia gugur mati syahid dalam pertempuran tersebut.
Sebab itulah ia mendapat gelar ”Pangeran sabrang lor” artinya pangeran
yang menyebrangi lautan di sebelah utara.
Sepeninggal Adipati Yunus,
perlawanan terhadap Portugis diteruskan oleh Sultan Trenggana
(1521-1546) dan juga oleh putranya Sultan Prawoto. Meskipun pada masa
Sultan Prawoto negara dalam keadaan goncang karena perseteruan dalam
negeri tapi kekuatan perang untuk melawan dan mempertahankan diri dari
serangan Portugis masih terus digalang. Diberitakan, bahwa saat itu
Demak masih sanggup membangun kekuatan militernya terutama angkatan
lautnya yang terdiri dari 1000 kapal-kapal layar yang dipersenjatai.
Setiap kapal itu mampu memuat 400 prajurit masing-masing mempunyai tugas
pengamanan wilayah Nusantara dari serangan Portugis.
Kalau
perlawanan umat Islam terhadap penjajah Portugis di Malaka mengalami
kegagalan, namun terhadap penjajah Portugis di Sunda Kelapa (Jakarta)
dan Maluku memperoleh hasil yang gemilang. Adalah panglima Fatahillah
(menantu Sultan Syarif Hidayatullah) pada tahun 1526 M. memimpin pasukan
Demak menyerang Portugis di Sunda Kelapa lewat jalur laut. Mereka
berhasil mengepung dan merebutnya dari tangan penjajah Portugis,
kemudian diganti namanya menjadi Fathan Mubina diambil dari Quran Surat
al-Fath ayat satu. Fathan Mubina diterjemahkan menjadi Jayakarta
(Jakarta). Peristiwa ini terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 M, yang
kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya kota Jakarta.
Di Maluku,
Portugis menghasut dan mengadu domba kerajaan Islam Ternate dan Tidore.
Namun kemudian rakyat Ternate sadar, sehingga mereka dibawah pimpinan
Sultan Haerun berbalik melawan Portugis. Nampaknya yang menjadi
persoalan bukan hanya faktor perdagangan atau ekonomi, tapi juga
persoalan penyebaran agama oleh Portugis. Kristenisasi secara
besar-besaran terutama pada tahun 1546 dilakukan oleh seorang utusan
Gereja Katolik Roma Fransiscus Xaverius dengan sangat ekstrimnya
ditengah-tengah penduduk muslim dan di depan mata seorang Sultan Ternate
yang sangat saleh, tentu saja membuat rakyat marah dan bangkit melawan
Portugis. Lebih marah lagi ketika Sultan Haerun dibunuh secara licik
oleh Portugis pada tahun 1570. Rakyat Ternate terus melanjutkan
perjuangannya melawan Portugis dibawah pimpinan Babullah, putra Sultan
Haerun selama empat tahun mereka berperang melawan Portugis, dan
Alhamdulillah berhasil mengusir penjajah Portugis dari Maluku
2. Penjajah Belanda
Belanda
pertama kali datang ke Indonesia tahun 1596 berlabuh di Banten dibawah
pimpinan Cornelis de Houtman, dilanjutkan oleh Jan Pieterszoon Coen
menduduki Jakarta pada tanggal 30 Mei 1619 serta mengganti nama Jakarta
menjadi Batavia. Tujuannya sama dengan penjajah Portugis, yaitu untuk
memonopoli perdagangan dan menanamkan kekuasaan terhadap
kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara. Jika Portugis menyebarkan agama
Katolik maka Belanda menyebarkan agama Protestan. Betapa berat
penderitaan kaum muslimin semasa penjajahan Belanda selama kurang lebih
3,5 abad. Penindasan, adu domba (Devide et Impera), pengerukan kekayaan
alam sebanyak-banyaknya dan membiarkan rakyat Indonesia dalam keadaan
miskin dan terbelakang adalah kondisi yang dialami saat itu. Maka
wajarlah jika seluruh umat Islam Indonesia bangkit dibawah pimpinan para
ulama dan santri di berbagai pelosok tanah air, dengan persenjataan
yang sederhana: bambu runjing, tombak dan golok. Namun mereka bertempur
habis-habisan melawan orang-orang kafir Belanda dengan niat yang sama,
yaitu berjihad fi sabi lillah. Hanya satu pilihan mereka : Hidup mulia
atau mati Syahid. Maka pantaslah almarhum Dr. Setia Budi (1879-1952)
mengungkapkan dalam salah satu ceramahnya di Jogya menjelang akhir
hayatnya antara lain mengatakan : “Jika tidak karena pengaruh dan
didikan agama Islam, maka patriotisme bangsa Indonesia tidak akan
sehebat seperti apa yang diperlihatkan oleh sejarahnya sampai
kemerdekaannya”.
Sejarah telah mencatat sederetan pahlawan Islam
Indonesia dalam melawan Belanda yang sebagian besar adalah para Ulama
atau para kyai antara lain :
Di Pulau Jawa misalnya Sultan Ageng
Tirtayasa, Kiyai Tapa dan Bagus Buang dari kesultanan Banten, Sultan
Agung dari Mataram dan Pangeran Diponegoro dari Jogjakarta memimpin
perang Diponegoro dari tahun 1825-1830 bersama panglima lainnya seperti
Basah Marto Negoro, Kyai Imam Misbah, Kyai Badaruddin, Raden Mas Juned,
dan Raden Mas Rajab. Konon dalam perang Diponegoro ini sekitar 200 ribu
rakyat dan prajurit Diponegoro yang syahid, dari pihak musuh tewas
sekitar 8000 orang serdadu bangsa Eropa dan 7000 orang serdadu bangsa
Pribumi. Dari Jawa Barat misalnya Apan Ba Sa’amah dan Muhammad Idris
(memimpin perlawanan terhadap Belanda sekitar tahun 1886 di daerah
Ciomas)
Di pulau Sumatra tercatat nama-nama : Tuanku Imam Bonjol dan
Tuanku Tambusi (Memimpin perang Padri tahun 1833-1837), Dari kesultanan
Aceh misalnya : Teuku Syeikh Muhammad Saman atau yang dikenal Teuku Cik
Ditiro, Panglima Polim, Panglima Ibrahim, Teuku Umar dan istrinya Cut
Nyak Dien, Habib Abdul Rahman, Imam Leungbatan, Sultan Alaudin Muhammad
Daud Syah, dan lain-lain.
Di Kalimantan Selatan, rakyat muslim
bergerak melawan penjajah kafir Belanda yang terkenal dengan perang
Banjar, dibawah pimpinan Pangeran Antasari yang didukung dan
dilanjutkan oleh para mujahid lainnya seperti pangeran Hidayat, Sultan
Muhammad Seman (Putra pangeran Antasari), Demang Leman dari Martapura,
Temanggung Surapati dari Muara Teweh, Temanggung Antaludin dari
Kandangan, Temanggung Abdul jalil dari Amuntai, Temanggung Naro dari
buruh Bahino, Panglima Batur dari Muara Bahan, Penghulu Rasyid, Panglima
Bukhari, Haji Bayasin, Temanggung Macan Negara, dan lain-lain. Dalam
perang Banjar ini sekitar 3000 serdadu Belanda tewas.
Di Maluku Umat
Islam bergerak juga dibawah pimpinan Sultan Jamaluddin, Pangeran Neuku
dan Said dari kesultanan Ternate dan Tidore.
Di Sulawesi Selatan terkenal pahlawan Islam Indonesia seperti Sultan Hasanuddin dan Lamadu Kelleng yang bergelar Arung Palaka.
Sederetan
Mujahid-mujahid lain disetiap pelosok tanah air yang belum diangkat
namanya atau dicatat dalam buku sejarah adalah lebih banyak dari pada
yang telah dikenal atau sudah tercatat dalam buku-buku sejarah. Mereka
sengaja tidak mau dikenal, khawatir akan mengurangi keikhlasannya di
hadapan Allah. Sebab mereka telah betul-betul berjihad dengan tulus demi
menegakkan dan membela Islam di tanah air.
3. Penjajahan Jepang
Pendudukan
Jepang di Indonesia diawali di kota Tarakan pada tanggal 10 januari
1942. Selanjutnya Minahasa, Balik Papan, Pontianak, Makasar,
Banjarmasin, Palembang dan Bali. Kota Jakarta berhasil diduduki tanggal 5
Maret 1942.
Untuk sementara penjajah Belanda hengkang dari bumi
Indonesia, diganti oleh penjajah Jepang. Ibarat pepatah “Lepas dari
mulut harimau jatuh ke mulut buaya”, yang ternyata penjajah Jepang lebih
kejam dari penjajah manapun yang pernah menduduki Indonesia. Seluruh
kekayaan alam dikuras habis dibawa ke negerinya. Bangsa Indonesia
dikerja paksakan (Romusa) dengan ancaman siksaan yang mengerikan seperti
dicambuk, dicabuti kukunya dengan tang, dimasukkan kedalam sumur, para
wanita diculik dan dijadikan pemuas nafsu sex tentara Jepang (Geisha).
Pada
awalnya Jepang membujuk rayu bangsa Indonesia dengan mengklaim dirinya
sebagai saudara tua Bangsa Indonesia (ingat gerakan 3 A yaitu Nippon
Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon Pemimpin Asia). Mereka
juga paham bahwa bangsa Indonesia kebanyakan beragama Islam. Karena itu
pada tanggal 13 Juli 1942 mereka mencoba menghidupkan kembali Majlis
Islam A’la Indonesia (MIAI) yang telah terbentuk pada pemerintahan
Belanda (September 1937). Tapi upaya Jepang tidak banyak ditanggapi oleh
tokoh-tokoh Islam. Banyak tokoh-tokoh Islam tidak mau kooperatif dengan
pemerintah penjajah Jepang bahkan melakukan gerakan bawah tanah
misalnya dibawah pimpinan Sutan Syahrir dan Amir Syarifuddin.
Selain
itu, Jepang membubarkan organisasi-organisasi yang bersifat politik atau
yang membahayakan Jepang yang dibentuk semasa Belanda, kemudian sebagai
gantinya dibentuklah organisasi-organisasi baru misalnya Putera (Pusat
Tenaga Rakyat), Cuo Sangi In (Badan pengendali politik), Jawa Hokokai
(Himpunan Kebaktian Jawa), Seinendan, Fujinkai, Keibodan, Heiho, Peta
dan lain-lain. Motif utama dibentuknya organisasi-organisasi tersebut
hanyalah sebagai kedok saja yang ternyata untuk kepentingan penjajah
Jepang juga. Namun bangsa kita sudah cerdas justru
organisasi-organisasi tersebut sebaliknya dimanfaatkannya untuk melawan
penjajah Jepang. Sebagai contoh adalah pembentukan tentara PETA (Pembela
Tanah Air) pada tanggal 3 Oktober 1943 di Bogor yang merupakan cikal
bakal adanya TNI. Terbentuknya memang atas persetujuan penjajah Jepang
yang didukung oleh para alim ulama. Tercatat sebagai pendirinya adalah
KH.Mas Mansur, Tuan Guru H. Yacob, HM.Sodri, KH.Adnan, Tuan guru
H.Kholid, KH.Djoenaedi, Dr.H.Karim Amrullah, H.Abdul Madjid dan U.
Muchtar. Mereka betul-betul memanfaatkan PETA ini untuk kepentingan
perjuangan bangsa. PETA saat itu terdiri dari 68 batalion yang
masing-masing dipimpin oleh para alim ulama. Para Bintaranya adalah para
pemuda Islam, dan panji-panji tentara PETA adalah bulan bintang putih
di atas dasar merah. Tanggal 5 Oktober 1945 terbentuklah BKR (Barisan
Keamanan Rakyat) yang sebagian besar pimpinannya adalah berasal dari
PETA. BKR kemudian menjadi TKR dan selanjutnya TNI. Jadi TNI tidak
mungkin ada jika PETA yang terdiri dari 68 bataliyon yang dipimpin oleh
para ulama tersebut tidak ada.
Namun ada beberapa organisasi bentukan
Jepang yang sangat kentara merugikan dan bahkan berbuat aniaya terhadap
bangsa Indonesia. Misalnya melalui Jawa Hokokai rakyat secara paksa
untuk mengumpulkan padi, permata, besi tua serta menanam jarak yang
hasilnya harus diserahkan kepada pemerintah pendudukan Jepang,
pelecehan, penghinaan terhadap agama Islam dan umat Islam sudah
terang-terang. Maka umat Islam di berbagai daerah bangkit menentang
penjajah Jepang, diantaranya:
a. Pemberontakan Cot Pileng di Aceh
Perlawanan
ini dipimpin oleh seorang ulama muda bernama Tengku Abdul Jalil, guru
ngaji di Cot Pileng pada tanggal 10 November 1942. Sebabnya karena
tentara Jepang melakukan penghinaan terhadap umat Islam Aceh dengan
membakar masjid dan membunuh sebagian jamaah yang sedang salat subuh.
b. Pemberontakan Rakyat Sukamanah
Perlawanan
ini dipimpin oleh KH. Zaenal Mustafa, pemimpin pondok pesantren di
Sukamanah Singaparna Tasik Malaya pada tanggal 25 februari 1944.
Penyebabnya karena para santrinya dipaksa untuk melakukan Seikirei,
menghormat kepada kaisar Jepang dengan cara membungkukkan setengah badan
ke arah matahari. Ini tentu saja pelanggaran aqidah Islam.
c. Pemberontakan di Indramayu
Perlawanan ini dipimpin oleh H. Madriyas. Sebabnya karena rakyat tidak tahan terhadap kekejaman yang dilakukan tentara Jepang.
d. Pemberontakan Teuku Hamid di Aceh
Perlawanan ini dipimpin oleh Teuku Hamid pada bulan November 1944.
e. Pemberontakan PETA di Blitar
Perlawanan
ini dipimpin oleh seorang komandan Pleton PETA yang bernama Supriadi
pada tahun 14 Februari 1945 di Blitar, karena mereka tidak tahan melihat
kesengsaraan rakyat di daerah dan banyak rakyat yang korban karena
dikerjapaksakan (Romusha).
4. Sekutu dan NICA
Tanggal 17
Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia baru saja diproklamirkan, tanggal 15
september 1945 datang lagi persoalan baru, yaitu datangnya tentara
sekutu yang diboncengi NICA (Nederland Indies Civil Administration).
Mereka datang dengan penuh kecongkakan seolah-olah paling berhak atas
tanah Indonesia sebagai bekas jajahannya. Kedatangan mereka tentu saja
mendapat reaksi dari seluruh bangsa Indonesia. Seluruh umat Islam
bergerak kembali dengan kekuatan senjata seadanya melawan tentara sekutu
dan NICA yang bersenjatakan lengkap dan modern. Perlawanan terhadap
sekutu dan NICA antara lain: Dengan taktik perang gerilya, pertempuran
arek-arek Surabaya, Bandung lautan Api, pertempuran di Ambarawa dan
lain-lain.
Arsitek perang gerilya adalah Jendral Sudirman nama yang
tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Beliau sebagai panglima besar
TNI berlatar belakang santri. Pernah jadi da’i atau guru agama di daerah
Cilacap Banyumas sekitar tahun 1936-1942. Berkarir mulai dari kepanduan
Hizbul Wathan dan aktif dalam pengajian-pengajian yang diadakan oleh
Muhammadiyah. Beliau pada sebagian hidupnya adalah untuk berjuang, dan
bahkan dalam kondisi sakit sekalipun beliau terus memimpin perang
gerilya ke hutan-hutan.
Sedangkan pertempuran arek-arek Surabaya
dipimpin oleh Bung Tomo. Dengan kumandang takbir, beliau mengobarkan
semangat berjihad melawan tentara Inggris di Surabaya pada tanggal 10
November 1945. Karena dahsyatnya pertempuran tersebut, maka tanggal
tersebut dikenang sebagai hari pahlawan. Beliau tercatat pula dalam
sejarah sebagai arsitek bom syahid. Dalam kurun waktu perjuangan tahun
1945–1949 beliau membentuk pasukan berani mati, yakni pasukan bom syahid
yang siap mengorbankan jiwanya untuk menghancurkan tentara sekutu dan
Belanda.
Bandung lautan api adalah pertempuran dahsyat di Bandung
Utara, kemudian di Bandung Selatan dibawah pimpinan Muhammad Toha dan
Ramadhan .
E. Peranan Umat Islam dalam Mempersiapkan dan Meletakkan Dasar-dasar Indonesia Merdeka.
Dalam
upaya mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, tidak disangsikan lagi peran
kaum muslimin terutama para ulama. Mereka berkiprah dalam BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dibentuk tanggal
1 maret 1945. Lebih jelas lagi ketika Badan ini membentuk panitia
kecil yang bertugas merumuskan tujuan dan maksud didirikannya negara
Indonesia. Panitia terdiri dari 9 orang yang semuanya adalah muslim atau
para ulama kecuali satu orang beragama Kristen. Mereka adalah Ir.
Soekarno, Drs.Moh.Hatta, Mr.Moh.Yamin, Mr.Ahmad Subardjo, Abdul Kahar
Mujakir, Wahid Hsyim, H.Agus Salim, Abi Kusno Tjokrosuyono dan A.A.
Maramis (Kristen)
Meski dalam persidangan-persidangan merumuskan
dasar negara Indonesia terjadi banyak pertentangan antar (mengutip
istilah Endang Saefudin Ansori dalam bukunya Piagam Jakarta) kelompok
nasionalis Islamis dan kelompok nasionalis sekuler. Kelompok Nasionalis
Islamis antara lain KH. Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, KH.Wahid
Hasyim, Ki Bagus dan Abi Kusno menginginkan agar Islam dijadikan dasar
negara Indonesia. Sedangkan kelompok nasionalis sekuler dibawah pimpinan
Soekarno menginginkan negara Indonesia yang akan dibentuk itu netral
dari agama. Namun Akhirnya terjadi sebuah kompromi antara kedua kelompok
sehingga melahirkan sebuah rumusan yang dikenal dengan Piagam Jakarta
tanggal 22 Juni 1945, yang berbunyi :
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syareat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan
itu disetujui oleh semua anggota dan kemudian menjadi bagian dari
Mukaddimah UUD 45. Jadi dengan demikian Republik Indonesia yang lahir
tanggal 17 Agustus 1945 adalah republik yang berdasarkan ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syareat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
Meskipun keesokan harinya 18 Agustus 1945 tujuh kata dalam Piagam
Jakarta itu dihilangkan diganti dengan kalimat “Yang Maha Esa”. Ini
sebagai bukti akan kebesaran jiwa umat Islam dan para ulama. Muh. Hatta
dan Kibagus Hadikusumo menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan” Yang Maha
Esa” tersebut tidak lain adalah tauhid.
Saat proklamasipun peran
umat Islam sangat besar. 17 Agustus 1945 itu bertepatan dengan tangal 19
Ramadhan 1364 H. Proklamasi dilakukan juga atas desakan-desakan para
ulama kepada Bung Karno. Tadinya Bung Karno tidak berani. Saat itu Bung
Karno keliling menemui para ulama misalnya para ulama di Cianjur
Selatan, Abdul Mukti dari Muhammadiyah, termasuk Wahid Hasyim dari NU.
Mereka mendesak agar Indonesia segera diproklamasikan tanggal 17 Agustus
1945.
Demikian penting peran ulama di mata Bung Karno. Setelah
Indonesia diproklamasikan, Bung karno masih terus berkeliling terutama
minta dukungan para ulama dan rakyat Aceh. Di bawah pimpinan
ulama-ulama Aceh seperti Daud Beureuh, Teuku Nyak Arief, Mr. Muhammad
Hasan, M.Nur El Ibrahimy, Ali Hasyimi dan lain-lain, rakyat Aceh segera
menyambut dengan gegap gempita. Dukungan mereka bukan hanya lisan tapi
juga berbentuk sumbangan materi, yaitu berupa uang 130.000 Straits
Dollar dan emas seberat 20 kg untuk pembelian pesawat terbang.
Saat
itu Soekarno sempat berjanji di hadapan Daud Beureuh, bahkan sampai
mengucapkan sumpah. ”Demi Allah, Wallahi, saya akan pergunakan pengaruh
saya agar nanti rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanaan syari’at
Islam”, demikian ucapan Soekarno untuk meyakinkan Daud Beureuh, bahwa
jika Aceh bersedia membantu perjuangan kemerdekaan, syari’at Islam akan
diterapkan di tanah Rencong ini. Tapi janji itu hanya sekedar janji,
tidak pernah diwujudkan. Inilah yang menyebabkan Daud Beureuh kemudian
memberontak kepada pemerintah pusat dan bergabung dengan
S.M.Kartosuwiryo yang juga dikecewakan oleh Soekarno, teman
seperguruannya waktu nyantri di HOS Cokroaminoto.
Sesungguhnya
perjuangan para ulama begitu besar dalam mengantarkan Indonesia merdeka
tidak lepas dari motivasi bagaimana Indonesia yang akan dibangun ini
harus berdasarkan syari’at Islam. Namun banyak dari golongan nasionalis
meski mereka beragama Islam (misalnya Soekarno dkk) tidak setuju dengan
cita-cita para ulama di atas. Kelompok Nasionalis inilah sangat berperan
dalam penghapusan 7 kata dalam piagam Jakarta. Inilah yang kemudian
menjadi ganjalan dan kekecewaan bagi para ulama. Sehingga beberapa tokoh
Islam seperti Kartosuwiryo (Jawa Barat), Kahar Muzakir (Sulawesi
Selatan), Letnan I Ibnu Hajar (Kalimantan Selatan) dan Daud Beureuh
(Aceh) terpaksa harus angkat senjata berjuang kembali untuk mewujudkan
NII yang dicita-citakan, meskipun mereka kemudian dicap sebagai
pemberontak.
F. Peranan Organisasi-organisasi Islam dan Partai-partai Politik Islam
Dalam
perjuangan membela bangsa, Negara dan menegakkan Islam di Indonesia,
Umat Islam mendirikan berbagai organisasi dan partai politik dengan
corak dan warna yang berbeda-beda. Ada yang bergerak dalam bidang
politik, sosial budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya. Namun
semuanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu memajukan bangsa Indonesia
khususnya umat Islam dan melepaskan diri dari belenggu penjajahan.
Tercatat dalam sejarah, bahwa dari lembaga-lembaga tersebut telah
lahir para tokoh dan pejuang yang sangat berperan baik di masa
perjuangan mengusir penjajah, maupun pada masa pembangunan.
1. Sarekat Islam (SI)
Sarekat
Islam (SI) pada awalnya adalah perkumpulan bagi para pedagang muslim
yang didirikan pada akhir tahun 1911 di Solo oleh H. Samanhudi. Nama
semula adalah Sarekat Dagang Islam (SDI). Kemudian tanggal 10 Nopember
1912 berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI). H.Umar Said Cokroaminoto
diangkat sebagai ketua, sedangkan H.Samanhudi sebagai ketua
kehormatan. Latar belakang didirikannya organisasi ini pada awalnya
untuk menghimpun dan memajukan para pedagang Islam dalam rangka
bersaing dengan para pedagang asing, dan juga membentengi kaum muslimin
dari gerakan penyebaran agama Kristen yang semakin merajalela.
Dengan nama Sarekat Islam dibawah pimpinan H.O.S. Cokroaminoto
organisasi ini semakin berkembang karena mendapat sambutan yang luar
biasa dari masyarakat. Daya tarik utamanya adalah asas keislamannya.
Dengan SI mereka (umat Islam) yakin akan dibela kepentingannya.
Keanggotaan
SI terbuka untuk semua golongan dan suku bangsa yang beragama Islam.
Berbeda dengan Budi Utomo yang membatasi keanggotaannya pada suku bangsa
tertentu (Jawa). Sehingga banyak sejarawan mengatakan bahwa tanggal
berdirinya SI ini lebih tepat disebut sebagai Hari Kebangkitan Nasional,
dan bukan tahun 1908 dengan patokan berdirinya Budi Utomo. Karena ruang
lingkup Budi Utomo hanyalah pulau Jawa, bahkan hanya etnis Jawa
Priyayi. Sedangkan SI mempunyai cabang-cabang di seluruh Indonesia. Jadi
layak disebut “Nasional”.
Secara lahir SI tidak menyatakan diri
sebagai organisasi partai politik. Tetapi dalam sepak terjangnya jelas
kelihatan sebagai organisasi politik. Kegiatan politik dilakukan dengan
sangat hati-hati dan bertahap. Dalam kongres tahun 1914, Cokroaminoto
mengatakan bahwa SI akan bekerjasama (kooperatif) dengan pemerintah dan
tidak berniat melawan pemerintah. Dua tahun kemudian dalam kongresnya
di Bandung, dia melancarkan kritik terhadap praktek kolonialisme yang
telah menyengsarakan rakyat. Dalam kongres itu SI menuntut supaya
Indonesia diberi pemerintahan sendiri dan rakyat diberi kesempatan untuk
duduk dalam pemerintahan. Semakin lama sikap SI semakin keras. Abdul
Muis salah satu tokoh SI mengatakan, jika tuntutan-tuntutan itu tidak
diindahkan pemerintah (penjajah), anggota SI bersedia membalas
kekerasan dengan kekerasan. Pada waktu pemerintah mendirikan Volksraad
(Dewan Rakyat), SI mendudukkan wakilnya dalam dewan itu, antara lain
Cokroaminoto dan H. Agus Salim. Setelah ternyata Volksrad tidak bisa
dipakai sebagai lembaga untuk memperjuangkan kemerdekaan, SI pun menarik
wakilnya. Demikian SI beralih ke strategi non-kooperatif.
Pada
kongres 1917, SI mulai dimasuki pengaruh lain, yaitu dengan masuknya
orang-orang yang berfaham Marxis (komunis) seperti Semaun dan Darsono.
Bahkan pada kongresnya yang ketiga tahun 1918 pengaruh Semaun semakin
kuat. Tetapi SI masih membiarkannya demi persatuan dan kesatuan bangsa
yang saat itu sangat diperlukan dalam menghadapi pemerintah penjajah.
Pada tangal 10 Oktober 1921 dalam kongres SI yang ke-6 H. Agus Salim dan
Abdul Muis merangkap menjadi anggota dan pengurus mencetuskan perlunya
disiplin partai dalam tubuh SI, antara lain seorang anggota SI tidak
boleh merangkap menjadi anggota atau pengurus di partai lain. Ini
tujuan sebenarnya adalah untuk membersihkan barisan SI dari unsur-unsur
komunis. Dengan disetujuinya gagasan ini akhirnya Semaun dan Darsono
keluar dari SI. Tapi kemudian SI terpecah menjadi dua, yaitu SI Merah
dan SI Putih. SI Merah dipimpin oleh Semaun berpusat di Semarang dan
berazaskan Komunis. Adapun SI Putih dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto
berazaskan Islam.
Pada Kongres SI ke-7. SI Putih berubah nama menjadi
Partai Sarekat Islam (PSI). Pada tahun 1927 nama Partai Sarekat Islam
(PSI) ditambah dengan kata Indonesia, sehingga menjadi Partai Sarekat
Islam Indonesia (PSII). Hanya sangat disayangkan partai ini kemudian
menjadi terpecah belah. Ada PSII yang dipimpin oleh Sukiman, PSII
Kartosuwiryo, PSII Abikusno, dan PSII H. Agus Salim.
2. Muhammadiyah
Muhammadiyah
secara etimologi artinya pengikut Nabi Muhammad. Adalah sebuah
organisasi non-politis yang bertujuan mengembalikan ajaran Islam sesuai
dengan al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad saw; memberantas kebiasaan yang
tidak sesuai dengan ajaran agama (bid’ah) dan memajukan ilmu agama
Islam di kalangan anggotanya. Organisasi ini didirikan oleh KH. Ahmad
Dahlan di Yogyakarta pada 18 Nopember 1912. Dalam Anggaran Dasar
Muhammadiyah yang baru, telah disesuaikan dengan UU no.8 tahun 1985 dan
hasil Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Surakarta pada tanggal 7-11
Desember 1985, Bab 1 pasal 1 disebutkan bahwa Muhammadiyah adalah
gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang berakidah Islam
dan bersumber pada al-Quran dan Sunnah. Sifat gerakannya adalah
non-politik, tapi tidak melarang anggotanya memasuki partai politik. Hal
ini dicontohkan oleh pendirinya sendiri, KH Ahmad Dahlan, dimana beliau
juga adalah termasuk anggota Sarekat Islam.
Banyak anggota
Muhammadiyah yang berjuang baik pada masa penjajahan Belanda, Jepang,
masa mempertahankan kemerdekaan, masa Orde Lama, Orde Baru dan Masa
Reformasi. Mereka tersebar di berbagai organisasi pergerakan, organisasi
partai politik dan lembaga-lembaga negara. Tokoh-tokoh Muhammadiyah
yang kita kenal seperti KH. Mas Mansur, Prof. Kahar Muzakir, Dr.
Sukirman Wirjosanjoyo adalah para pejuang yang tidak asing lagi.
Demikian pula seperti Buya Hamka, KH AR. Fakhruddin, Dr. Amin Rais, Dr.
Syafi’i Ma’arif dan Dr. Din Syamsudin adalah tokoh–tokoh Muhammadiyah
yang sangat berperan dalam pentas nasional Indonesia.
Bidang-bidang yang ditangani Muhammadiyah antara lain :
a. Sosial
Dalam bidang sosial Muhammadiyah mendirikan :
1) Panti asuhan untuk anak yatim piatu
2) Bank Syari’ah untuk membantu pengusaha lemah
3)
Organisasi wanita yang bernama Aisiyah dan organisassi kepanduan Hizbul
wathan, Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, dan ikatan
Pelajar Muhammadiyah
b. Pendidikan
Dalam bidang pendidikan,
Muhammadiyah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan mulai dari TK sampai
perguruan tinggi. Data tahun 1985 Muhammadiyah sudah memiliki 12400
lembaga pendidikan yang terdiri dari 37 perguruan tinggi dan sisanya
adalah TK sampai SLTA. Tahun 1990 jumlah perguruan tinggi Muhammadiyah
bertambah menjadi 78 buah.
c. Kesehatan
Dalam bidang kesehatan
Muhammadiyah mendirikan Poliklinik, Rumah Sakit dan Rumah Bersalin. Data
tahun 1990 telah memiliki 215 Rumah Sakit, Poliklinik dan Rumah
Bersalin.
3. Al Irsyad
Organisasi ini berdiri tanggal 6
September 1914 di Jakarta, dua tahun setelah Muhammadiyah berdiri, dan
bisa dibilang sebagai sempalan dari Jami’atul Khair. Diantara tokoh
al-Irsyad yang terkenal adalah syeikh Ahmad Surkati, berasal dari Sudan
yang semula adalah pengajar di Jami’atul Khair. Al Irsyad ini
mengkhususkan diri dalam perbaikan (pembaharuan) agama kaum muslimin
khususnya keturunan Arab Sebagian tokoh Muhammadiyah pada awal
berdirinya juga adalah kader-kader yang dibina dalam lembaga pendidikan
AlIrsyad. Saat itu al-Irsyad sudah memiliki Madrasah Awaliyah (3 tahun),
Madrasah Ibtidaiyah (4 tahun), Madrasah Tajhiziyah (2tahun), dan
Madrasah Mu’allimin yang dikhususkan untuk mencetak guru.
Al-Irsyad
bergerak bukan hanya dalam bidang pendidikan, tapi juga bidang-bidang
lain seperti rumah sakit, panti asuhan dan rumah yatim piatu.
4. Nahdlatul Ulama
(NU)
artinya kebangkitan para ulama. Adalah sebuah Organisasi sosial
keagamaan yang dipelopori oleh para ulama atau kiyai. Mereka itu ialah
K.H.Hasyim Asy’ari, K.H.Wahab Hasbullah, K.H.Bisri Syamsuri, K.H.Mas
Alwi , dan K.H.Ridwan. Lahir di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926
dan kini menjadi salah satu organisai dan gerakan Islam terbesar di
tanah air. Bertujuan mengupayakan berlakunya ajaran Islam yang berhaluan
Ahlussunnah Waljama’ah dan penganut salah satu dari empat mazhab fiqih
(Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Hambali dan Imam Maliki).
Pada
mulanya NU ini tidak mencampuri urusan politik. Ia lebih memfokuskan
diri pada pengembangan dan pemantapan paham keagamaannya dalam
masyarakat yang saat itu sedang gencar-gencarnya penyebaran faham
Wahabiyah yang dianggap membahayakan paham ahli Sunnah Waljama’ah. Hal
ini tersirat dalam salah satu hasil keputusan kongresnya di Surabaya
pada bulan Oktober 1928.
NU semakin berkembang dengan cepat. Pada
tahun 1935 telah memiliki 68 cabang dengan anggota 6700 orang. Pada
kongres tahun 1940 di Surabaya dinyatakan berdirinya organisasi wanita
NU atau Muslimat dan Pemuda Anshar.
Pada perkembangan selanjutnya,
NU mengubah haluannya. Selain sebagai organisasi yang bergerak dalam
bidang sosial keagamaan, juga mulai ikut dalam kehidupan politik. Tahun
1937 bergabung dengan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI). Hal ini terus
berlangsung sampai dibubarkannya pada masa penjajahan Jepang tahun 1943,
yang kemudian diganti Masyumi. Dalam Masyumi, NU adalah bagian yang
sangat penting sampai tahun 1952. Dalam Muktamarnya yang ke 19 tanggal 1
Mei 1952 menyatakan diri keluar dari Masyumi dan menjadi partai
politik tersendiri. Kemudian NU bersama dengan PSII dan Perti membentuk
Liga Muslim Indonesia sebagai wadah kerja sama partai politik dan
organisasi Islam. Dalam Pemilu tahun 1955 NU muncul sebagai partai
politik terbesar ke tiga. Pada masa orde baru NU bersama partai politik
lainnya (PSII, Parmusi, Perti) berfungsi dalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Kemudian sejak tahun 1984 NU menyatakan diri kembali
ke khittah 1926, artinya melepaskan diri dari kegiatan politik, meskipun
secara pribadi-pribadi anggotanya tetap ikut berkiprah dalam berbagai
partai politik.
Pada masa reformasi (1999) para tokoh NU yang
dimotori oleh KH. Abdurrahman Wahid mendirikan partai politik, Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) yang kemudian termasuk 5 besar pemenang Pemilu
pada tahun tersebut. Melalui poros tengah, Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
sebagai pemimpin NU saat itu berhasil menjadi orang nomor satu di RI,
meskipun hanya berumur satu tahun.
Peranan NU sebagai organisasi
dalam perjuangan mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan tidak
diragukan lagi. Bahkan para kyai dan santri memikul senjata (bambu
runcing atau golok) untuk berjihad fi sabilillah. Tercatat dalam
sejarah tanggal 23 Oktober 1945 NU mengeluarkan Resolusi Jihad untuk
melawan tentara penjajah.
5. Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI)
MIAI
ini sebenarnya berdiri pada masa pemerintahan Belanda, yaitu tanggal 21
September 1937 di Surabaya sebagai organisasi federasi yang diprakarsai
oleh K.H. Mas Mansur, K.H. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), K.H. Wahab
Hasbullah (NU) dan Wondoamiseno (PSII).
Tujuan didirikan MIAI ini
adalah agar semua umat Islam mempunyai wadah tempat membicarakan dan
memutuskan semua soal yang dianggap penting bagi kemaslahatan umat dan
agama Islam. Keputusan yang diambil MIAI harus dilaksanakan oleh semua
organisasi yang menjadi anggotanya.
Pembentukan MIAI mendapat
sambutan dari berbagai organisasi Islam di Indonesia seperti PSII,
Muhammadiyah, NU, Persis, dan organisasi-organisasi yang lebih kecil
lainnya. Pada waktu dibentuk anggotanya hanya 7 organisasi, tapi empat
tahun kemudian jumlahnya sudah mencapai duapuluh.
Pada akhir
pemerintahan Hindia Belanda MIAI memberikan dukungan terhadap aksi
Indonesia berparlemen yang dicanangkan oleh GAPI (Gabungan Politik
Indonesia). Pada waktu GAPI menyusun rencana konstitusi untuk Indonesia,
MIAI menghendaki agar yang menjadi kepala negara adalah orang Indonesia
yang beragama Islam dan dua pertiga dari menteri-menteri harus orang
Islam.
Ketika Jepang datang ke Indonesia seluruh organisasi yang ada
di Indonesia dibekukan, termasuk MIAI. Tapi khusus MIAI tanggal 4
September 1942 diperbolehkan aktif kembali. Jepang melihat bahwa MIAI
bersifat kooperatif dan tidak membahayakan. Selain itu Jepang berharap
dapat memanfaatkan MIAI ini untuk memobilisasi gerakan umat Islam guna
menopang kepentingan penjajahannya. Selain itu, Jepang juga membantu
perkembangan kehidupan agama. Kantor urusan agama yang pada masa Belanda
diketuai oleh seorang orientalis Belanda, diubah oleh Jepang menjadi
Shumubu (Kantor Urusan Agama) yang dipimpin oleh orang Indonesia, yaitu
K.H. Hasyim Asy’ari. Umat Islam pada saat itu juga diizinkan membentuk
Hizbullah yang memberikan pelatihan kemiliteran bagi para pemuda Islam,
yang dipimpin oleh K.H.Zaenal Arifin. Demikian pula diizinkan mendirikan
Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh K.H. Wahid Hasyim,
Kahar Muzakir dan Moh. Hatta.
MIAI berkembang menjadi organisasi yang
cukup penting pada masa pendudukan Jepang. Para tokoh Islam dan para
Ulama memanfaatkannya sebagai tempat bermusyawarah membahas
masalah-masalah yang penting yang dihadapi umat Islam. Semboyannya
terkenal Berpegang teguhlah kepada tali Allah dan janganlah bercerai
berai.
Diantara tugas MIAI ialah:
a. Menempatkan umat Islam pada kedudukan yang layak dalam masyarakat Indonesia
b. Mengharmoniskan Islam dengan kebutuhan perkembangan zaman
MIAI juga menerbitkan majalah tengah bulanan yang bernama Suara MIAI.
Meskipun pada awalnya MIAI tidak menyentuh kegiatan politik, tetapi
dalam perkembangan selanjutnya kegiatan-kegiatannya tidak bisa lagi
dipisahkan dengan politik yang bisa membahayakan pemerintah Jepang.
Akhirnya pada tanggal 24 Oktober 1943 MIAI dibubarkan. Sebagai gantinya
berdirilah Masyumi.
6. Masyumi
Masyumi kepanjangan dari
Majlis Syura Muslimin Indonesia berdiri tahun 1943. Dalam Muktamar Islam
Indonesia tanggal 7 Nopember 1945 disepakati bahwa Masyumi adalah
sebagai satu-satunya partai Islam untuk rakyat Indonesia. Saat itu juga
Masyumi mengeluarkan maklumat yang berbunyi :” 60 Milyoen kaum muslimin
Indonesia siap berjihad fi sabilillah “, Pernyataan ini direkam dengan
baik oleh harian Kedaulatan Rakyat pada tanggal 8 Nopember 1945.
Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Mas Mansur dan didampingi K.H.Hasyim
Asy’ari. Tergabung dalam organisasi ini adalah Muhammadiyah, Nahdlatul
Ulama, Persis, dan Sarekat Islam. Tokoh-tokoh lain yang penting misalnya
Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Wahab dan tokoh-tokoh muda lainnya misalnya
Moh. Natsir, Harsono Cokrominoto, dan Prawoto Mangunsasmito.
Visi
Masyumi bahwa setiap umat Islam diwajibkan jihad Fi sabilillah dalam
berbagai bidang, termasuk dalam bidang politik. Para pemuda Islam,
khususnya para santri dipersiapkan untuk berjuang secara fisik maupun
politis. Masyumi dibubarkan oleh Soekarno pada tahun 1960. Sementara
organisasi-organisasi yang semula bergabung dalam Masyumi sudah
mengundurkan diri sebelumnya, seolah-olah mereka tahu bahwa Masyumi akan
dibubarkan.
7. Mathla’ul Anwar
Organisasi ini berdiri tahun
1905 di Marus, Menes Banten. Bergerak dalam bidang sosial keagamaan
dan pendidikan. Pendirinya adalah KH. M. Yasin. Tujuannya adalah untuk
mengembangkan pendidikan Islam khususnya di kalangan masyarakat sekitar
Menes Banten. Aspirasi politik organisasi ini pernah disalurkan melalui
Sarekat Islam (SI), tapi perkembangan selanjutnya organisasi ini menjadi
netral, artinya tidak ikut dalam kegiatan politik, tapi hanya
mengkhususkan diri pada kegiatan sosial dan pengembangan pendidikan
Agama. Berkat memfokuskan diri pada pendidikan, organisasi ini sekarang
sudah menjadi organisasi berskup nasional. Lembaga-lembaga pendidikannya
berupa madrasah-madrasah dari mulai TK sampai Madrasah Aliyah
(setingkat SMA) tersebar di seluruh Nusantara.
8. Persatuan Islam (Persis)
Persis adalah organisasi sosial pendidikan dan keagamaan. Didirikan
pada tanggal 17 September 1923 di Bandung atas prakarsa KH. Zamzam dan
Muhammad Yunus, dua saudagar dari kota Palembang. Organisasi ini
diketuai pertama kali oleh A. Hassan, seorang ulama yang terkenal
sebagai teman dialog Bung Karno ketika ia dipenjara. Bung Karno banyak
berdialog dengan A.Hassan lewat surat-suratnya. Pemikiran-pemikiran
keagamaan Bung Karno selain dari HOS Cokroaminoto, juga banyak berasal
dari A.Hassan ini.
. Diantara tujuan Persis ini adalah :
a. Mengembalikan kaum Muslimin kepada Al-Quran dan Sunnah (hadis nabi)
b. Menghidupkan ruh jihad dan ijtihad dalam kalangan umat Islam
c. Membasmi bid’ah, khurafat dan takhayul, taklid dan syirik dalam kalangan umat Islam
d. Memperluas tersiarnya tabligh dan dakwah Islam kepada segenap lapisan masyarakat
e. Mendirikan madrasah atau pesantren untuk mendidik putra-putri muslim dengan dasar Quran dan Sunnah.
9. Organisasi Pelajar, Mahasiswa dan Kepemudaan Islam
Organisasi
pelajar, mahasiswa dan kepemudaan Islam sangat besar sekali peranannya
dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan memajukan bangsa
Indonesia. Jong Islamiten Bond (JIB) misalnya lahir tahun 1925 yang
telah melahirkan tokoh-tokoh nasional seperti M. Natsir, Moh.Roem, Yusuf
Wibisono, Harsono Tjokroaminoto, Syamsul Ridjal dan lain sebagainya.
Dari
masa-masa tahun enam puluhan hingga kini peran kepemudaan Islam lebih
didominasi oleh organisasi-organisasi seperti HMI (Himpunan Mahasiswa
Islam) lahir 5 Pebruari 1947, PII (Pelajar Islam Indonesia), PMII
(Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah). Organisasi-organisasi pelajar dan kemahasiswaan tersebut
telah melahirkan banyak pemimpin nasional, antara lain misalnya Akbar
Tanjung (mantan Ketua DPR) dan Nurcholis Majid Almarhum (Ketua Yayasan
Paramadina) adalah Alumni HMI; Din Syamsudin (Sekjen MUI) adalah alumni
IMM; Muhaimin Iskandar (Ketua PKB) adalah alumni PMII, dan banyak lagi
contoh-contoh lain dari tokoh-tokoh nasional yang dikader oleh
organisasi-organisasi kemahasiswaan di atas.
Baik secara pribadi
ataupun secara organisasi para anggota dan alumni organisasi tersebut
di atas banyak terlibat dalam berbagai gerakan nasional. Misalnya pada
masa krisis Zaman Orde Lama, saat mereka berhadapan dengan Gerakan
Komunis. Mereka sangat kuat mengkritisi rezim Soekarno. Rezim Soekarno
tumbang diganti dengan Orde Baru yang tidak terlepas dari peran pemuda
dan mahasiswa yang menamakan dirinya dengan Angkatan 66. Angkatan 66 ini
sebagian besar adalah juga para anggota dari berbagai organisasi
mahasiswa Islam. Sebut saja misalnya Fahmi Idris, Ekky Syahruddin, Abdul
Gafur, Mar’i Muhammad, Akbar Tanjung dan lain sebagainya. Demikian pula
di akhir zaman Orde Baru, mereka dapat mewarnai Gedung DPR/MPR sehingga
ada istilah “hijau royo-royo” dan banyak juga yang direkrut untuk
mengisi Kabinet Soeharto.
Menjelang kejatuhan Orde Baru, para pemuda
dan mahasiswa atau pelajar Islam, baik yang tergabung dalam HMI, PMII,
PII, IPPNU, KAPI, KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), GPI
(Gerakan Pemuda Islam) dan Pemuda Anshar turut aktif mengambil bagian
dalam menumbangkan Rezim Soeharto.
10. Departemen Agama
Departemen
Agama dulu namanya Kementerian Agama. Didirikan pada masa Kabinet
Syahrir yang mengambil keputusan tanggal 3 Januari 1946, dengan Menteri
Agama yang pertama adalah M. Rasyidi. Tujuan dan fungsi Departemen Agama
yang dirumuskan pada tahun 1967 sebagai berikut :
a. Mengurus serta mengatur pendidikan agama di sekolah-sekolah serta membimbing perguruan-perguruan agama.
b. Mengikuti dan memperhatikan hal yang bersangkutan dengan agama dan keagamaan.
c. Memberi penerangan dan penyuluhan agama.
d. Mengurus dan mengatur Peradilan Agama serta menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan hukum agama.
e. Mengatur, mengurus dan mengawasi penyelenggaraan Ibadah Haji.
f.
Mengurus dan memperkembangkan IAIN, Perguruan Tinggi Agama Swasta dan
Pesantren serta mengurus dan mengawasi pendidikan agama pada
perguruan-perguruan tinggi agama Islam.
11. Peran Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga
Pendidikan Islam yang tertua di Indonesia adalah pesantren. Kehadiran
pesantren ini hampir bersamaan dengan kehadiran Islam di Indonesia itu
sendiri. Alasannya sangat sederhana, Islam sebagai agama dakwah
disebarkan melalui proses transmisi ilmu dari ulama atau kyai kepada
masyarakat (tarbiyah wat ta’lim atau ta’dib). Proses ini berlangsung di
Indonesia melalui pesantren.
Dari awal keberadaannya pesantren telah
menunjukkan perannya yang sangat besar dalam pembinaan bangsa. Islam
sebagai pandangan hidup membawa konsep baru tentang Tuhan, kehidupan,
waktu, dunia dan akhirat, bermasyarakat, keadilan, harta dan lain-lain.
Dengan pandangan hidup tersebut, masyarakat lalu mengembangkan semangat
pembebasan dan perlawanan terhadap penjajah. Pemberontakan petani di
Banten tahun 1888 Perang masyarakat Aceh melawan Belanda tahun 1873 dan
perang-perang lainnya di seluruh daerah di Indonesia hampir tidak
terlepas dari peran pesantren dan santrinya.
Dizaman pergerakan
pra-kemerdekaan tokoh-tokoh nasional seperti HOS Cokroaminoto, KH. Mas
Mansur, KH Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, KH
Kahar Muzakar dan lain-lain adalah alumni-alumni pesantren. Sesudah
kemerdekaan pesantren juga telah melahirkan tokoh-tokoh kaliber nasional
seperti Moh. Rasyidi (Menteri Agama Pertama), Moh. Natsir (Mantan
Perdana Menteri), KH. Wahid Hasyim, KH. Idham Kholid (Mantan Wakil
Perdana Menteri dan Ketua MPRS). Demikian juga tokoh-tokoh nasional saat
ini seperti Amien Rais (mantan Ketua MPR), Abdurrahman Wahid (Mantan
Presiden RI), Hidayat Nurwahid (Ketua MPR), Hasyim Muzadi (Ketua PB
NU), Nurcholis Majid (Almarhum Rektor Paramadina) dan lain-lain adalah
orang-orang yang tidak terlepas dari pesantren.
Keistimewaan atau ciri khas pesantren hingga bisa eksis sampai saat ini antara lain adalah
a. Penguasaan bahasa asing terutama bahasa Arab.
b. Penguasaan kitab-kitab kuning yang merupakan sumber penting ilmu-ilmu keislaman.
c.
Penanaman jiwa mandiri, sebab biasanya para santri tinggal di asrama.
Mereka harus hidup mandiri tanpa dekat dengan orang tua.
d. Penanaman
hidup disiplin, menghargai teman, hormat sama guru (kyai) dan sabar
serta istiqomah dalam melaksanakan proses pembelajaran (tarbiyah,
ta’dib dan ta’lim).
Biasanya pendidikan pesantren tidak dibatasi
oleh waktu, sehingga seorang santri bisa sepuas-puasnya menimba ilmu
sama kyai sampai ia diizinkan untuk meninggalkan pesantrennya, kemudian
pindah ke pesantren lain untuk mencari ilmu yang lebih tinggi.
Sistim
pengajaran selain sistim Klasikal, juga sistim Individual (sorogan),
yaitu seorang santri bisa belajar ngaji atau membaca kitab dibimbing
secara langsung oleh seorang guru atau kyai, sehingga bisa lebih
komunikatif antara guru dengan santri.
Pada perkembangan berikutnya
sebagian besar pesantren baik di Jawa maupun di luar Jawa, dilengkapi
dengan lembaga pendidikan yang dikenal istilah Madrasah. Dari mulai
Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD), Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP),
Madrasah Aliyah (setingkat SMA) dan selanjutnya para lulusannya bisa
melanjutkan ke IAIN atau perguruan tinggi agama lainnya. Perbedaan
Pesantren dengan Madrasah antara lain : di Pesantren khusus mempelajari
ilmu-ilmu agama, tapi di Madrasah biasanya juga dipelajari ilmu-ilmu
umum. Pesantren biasanya tidak menggunakan kurikulum yang resmi
(formal), tapi di Madrasah sudah menggunakan kurikulum resmi dan baku,
terutama kurikulum dari Departemen Agama.
12. Majlis Ulama Indonesia (MUI)
Majlis Ulama ini sebenarnya sudah berdiri sejak jaman pemerintahan
Soekarno, tetapi baru di tingkat daerah. Di Jawa Barat misalnya majlis
ini berdiri tanggal 12 Juli 1958. Pada tanggal 21 sampai 27 Juni 1975
diadakan Musyawarah Nasional I Majlis Ulama seluruh Indonesia di Jakarta
yang dihadiri oleh wakil-wakil Majlis Ulama propinsi. Ketika itulah
Majlis Ulama tingkat Nasional berdiri dengan nama Majlis Ulama Indonesia
(MUI).
Fungsi MUI antara lain :
a. Memberi fatwa dan nasihat
mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat
Islam umumnya sebagai amar ma’ruf nahi munkar, dalam usaha meningkatkan
ketahanan nasional.
b. Mempererat ukhuwah Islamiyah dan memelihara
serta meningkatkan suasana kerukunan antar umat beragama dalam
mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
c. Mewakili umat Islam dalam konsultasi antara umat beragama.
d.
Penghubung antara Ulama dan Umara (pemerintah) serta menjadi penerjemah
timbal balik antara pemerintah dan umat guna menyukseskan pembangunan
nasional.
Sejak berdiri sampai saat ini sudah banyak fatwa-fatwa MUI dikeluarkan antara lain menyangkut :
a. Hukum natal bersama bagi umat Islam
b. Aliran-aliran Islam sesat di Indonesia
c. Fatwa tentang bunga bank konvensional
d. Fatwa tentang bayi tabung dan inseminasi buatan
e. Fatwa tentang faham pluralisme dan sekularisme
f. Fatwa tentang perkawinan beda agama
g. Dan lain-lain
Ulama yang pernah menduduki jabatan ketua MUI antara lain :
a. Prof.Dr. Hamka (1975- 1981)
b. KH. Syukri Ghozali (1981- 1984)
c. KH. EZ. Muttaqien (1984- 1985)
d. KH. Hasan Basri (1985- 1995)
e. H. Amidhan
13. Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
ICMI
berdiri pada 7 Desember 1990 sebagai sebuah organisasi yang menampung
para cendekiawan muslim yang mempunyai komitmen pada nilai-nilai
keislaman, tanpa melihat aliran, warna politik dan kelompok. ICMI
sebagai wadah tempat berdialog para intelektual guna memecahkan
persoalan-persoalan bangsa. Organisasi ini pertama kali dipimpin oleh
Prof. Dr.BJ. Habibie, kemudian Ahmad Tirto Sudiro dan Adi Sasono.
ICMI bergerak berlandaskan tiga hal :
a. Iman sebagai landasan moral untuk memicu prestasi taqwa
b. Pancasila dan UUD 45 sebagai azas filosofis dan konstitusional kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
c. Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat dan sarana bagi peningkatan mutu kehidupan.
Sasaran
jangka panjang adalah peningkatan kualitas ilmu, kualitas hidup,
kualitas kerja, kualitas berkarya dan kualitas berfikir bangsa Indonesia
pada umumnya dan umat Islam pada khususnya.
Organisasi ini
berkembang cukup cepat. Terbukti saat Silaknas I ( 5-7 Desember 1991)
jumlah anggotanya sekitar 15000 orang. Pada Nopember 1993 ICMI sudah
mempunyai 32 Orwil (Organisasi Wilayah), yakni 28 di dalam negeri dan 4
di luar negeri ( Eropa, Timur Tengah, Amerika Serikat dan Pasifik). ICMI
sudah memiliki 309 Orsat (Organisasi Satuan), yakni 277 di dalam
negeri dan 32 di luar negeri.
PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
Posted by Moh Arief Munandar
05.16, under Tentang Islam | No comments
0 komentar:
Posting Komentar