shalat
adalah sarana yang paling efektif untuk menyegarkan jasmani dan
menenangkan jiwa. Masalahnya, shalat yang dilaksanakan oleh kebanyakan
kaum muslimin belum sebagaimana mestinya. Orang yang sehabis
melaksanakan shalat seolah-olah tidak memperoleh kesan apa-apa. Antara
sebelum dan sesudah shalat tidak ada bedanya. Bahkan antara orang yang
shalat dan yang tidak juga mirip-mirip saja.
Itulah
barangkali yang menyebabkan orang tidak lagi tertarik mengkaji manfaat
shalat, kecuali sebatas kewajiban yang harus ditunaikan saja. Ini
tantangan yang mesti kita jawab. Bukan dengan banyak-banyakan
argumentasi. Bukan dengan adu konsep dan dalil yang mendetail. Kita
perlu bukti. Hanya dengan bukti nyata, baru orang akan melirik kembali
potensi shalat yang selama ini ditelantarkan ummatnya.
Soal
ketenangan jiwa adalah janji Allah yang sudah pasti akan diberikan
kepada orang yang shalat. Ada jaminan yang pasti bahwa orang yang benar
dalam shalatnya bakal memperoleh ketenangan ini. Allah berfirman:
"Tegakkan shalat untuk mengingat-Ku."(Qs. Thaha: 14) "Ketahuilah,
dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang." (Qs. Ar-Ra'du:
28)
Hati
bisa tenang bila mengingat dan dzikir kepada Allah, sedang sarana
berdzikir yang paling efektif adalah shalat. Tentu bukan sembarang
shalat. Sebagaimana dalam ayat di atas, perintah Allah adalah tegakkan,
bukan laksanakan.
Mendirikan
shalat beda dengan sekadar melaksanakan. Mendirikan shalat punya kesan
adanya suatu perjuangan, keseriuasan, kedisiplinan, dan konsentrasi
tingkat tinggi. Jika sekadar melaksanakan, tak perlu susah payah, cukup
santai asal terlaksana. Itulah sebabnya Allah memilih kata perintah
"aqim" yang berarti dirikan, tegakkan, luruskan.
Kenyataannya
tidak demikian, banyak di antara kaum muslimin yang melaksanakan shalat
tapi tidak menegakkannya. Bagi mereka pokoknya shalat, kewajiban gugur
lepas dari ancaman siksa, dan menunggu pahala. Cukup. Andai ada sensus
tentang pelaksanaan shalat ini, maka dapat dipastikan bahwa bagian
terbesar ummat Islam adalah golongan ini.
Kondisi
ini sungguh memprihatinkan. Sayang belum banyak pemimpin dan ulama yang
menganggap perlu menjelaskannya kepad ummat. Jika toh mengkaji shalat,
maka yang paling banyak mendapat perhatian adalah seputar
kaifiyatush-Shalat, yang tidak berkutat dari masalah fiqh. Lebih parah
lagi bila mereka berhenti mengkaji hanya pada masalah-masalah khilafiyah.
Bukan untuk mencari penyelesaian, tapi malah memperlebar jarak perbedaan,
mempertajam pertentangan, dan merusak kesatuan.
Kenapa
kajian kita terhadap masalah-masalah ibadah, khususnya shalat, tidak
kita perlebar dan perdalam hingga menyentuh pokok-pokok pesan dan inti
persoalan? Kenapa hanya sebatas kulit, tidak sampai pada daging dan
tulangnya?
Sayang,
pelajaran di sekolah tentang shalat tidak lebih dari pengulangan, bukan
pendalaman. Sebatas pada pelajaran, bukan penghayatan. Falsafah shalat,
yang semestinya diberikan ternyata tidak, hingga kaum muslimin
menjalankan ibadahnya sebatas sebagai tradisi saja.
Jika
pelaksanaan shalat sudah semata-mata berdasar tradisi, berarti shalat
itu kosong tanpa isi. Ibarat tubuh tanpa nyawa. Ibarat bungkus tanpa isi.
Apa artinya shalat yang demikian? Dalam hal ini Rasulullah menjawab
melalui sabdanya: "Berapa banyak orang yang melaksanakan shalat, keuntungan yang diperoleh
dari shalatnya, hanyalah capai dan payah saja." (HR. Ibnu Majah)
Wajib
bagi kita mengikuti tata cara shalat sebagaimana yang diajarkan
Rasulullah kepada kita. Tidak boleh ada penyimpangan sedikit pun juga.
Sekecil apapun gerakan itu harus sesuai dengan sunnah. Akan tetapi yang
semestinya juga kita contoh dan tiru pada Nabi bukan sekadar gerakan
fisik tapi juga gerakan batinnya. Jika beliau batinnya sering bergetar
ketika membaca surat-surat tertentu, atau pada bacaan-bacaanm tertentu,
apakah kita juga sudah demikian?
Bukan
berarti kita memaksakan diri untuk menggetarkan batin. Juga bukan dengan
memaksakan diri untuk menangis, tidak bisa itu. Agar batin bergetar,
suasana hati harus khusyu'.
Khusyu'
adalah satu tingkat kosentrasi yang luar biasa tingginya. Ini dicapai
lewat kedisiplinan mengikuti tata cara yang telah diatur sedemikian rupa,
mulai dari berwudhu, adzan, iqamat, dan seterusnya berdiri untuk shalat,
takbir, rukuk, sujud, bacaan-bacaan dalam shalat, yang semuanya
mengantar untuk konsentrasi mengingat Allah.
Itulah
ruh shalat. Secara ekstrem dapat dikatakan, apa artinya shalat tanpa
khusyu'? Apa manfaat shalat yang demikian? Malah dapat dikatakan bahwa
yang lebih penting dan utama dalam shalat itu bukan gerakan fisik, tapi
gerakan batin. Gerakan fisik bisa diganti atau ditiadakan jika memang
tidak mampu. Tapi dzikir kepada Allah tetap harus berjalan, kapanpun
juga.
Seorang
yang tidak mampu berdiri karena sakit, bisa mengganti gerakan berdirinya
dengan hanya duduk, mengganti gerakan ruku'nya dengan isyarat sedikit
membungkuk. Demikian juga sujudnya. Tidak bisa berdiri diperbolehkan
duduk. Tidak bisa duduk dengan berbaring dan sebagainya.
Yang
tidak bisa diganti adalah gerakan batin. Ini yang mutlak harus ada.
Tanpa kehadiran hati, shalat hanya merupakan gerakan mati. Gerak
otomatis, bagai patung saja. Jika demikian, apa artinya?
Itulah
sebabnya Allah memberi ancaman yang cukup keras kepada kita, dengan kata
yang amat pedas, "Maka
celakalah bagi orang-orang yhang shalat, yaitu mereka yang lalai dalam
shalatnya." (Qs. al-Maa'uun: 4-5)
Jadi
ketenangan batin, apalagi janji-janji yang lain terhadap orang yang
shalat itu tidak serta merta diberikan Allah begitu saja. Ada
syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Bagi yang
lalai dalam shalatnya bukan saja tidak bakal mendapatkan janji-janji
tadi, malah ada ancaman keras dari Allah swt.
Itulah
barangkali rahasia, kenapa ummat Islam tidak sukses, padahal mereka
telah menjalankan shalat. Semestinya tidak demikian. Andai saja mereka
melaksanakan shalat sesuai dengan tuntunan Islam, kemenangan mesti
diperolehnya. Allah sendiri berjanji, "Sungguh
telah beruntung orang-orang beriman. Yaitu mereka yang khusyu' dalam
shalatnya." (Qs. Al-Mu'minuun: 1-2)
Rasanya
tidak terlalu sulit dipahami jika orang yang itens komunikasinya dengan
Allah --melalui shalat sebagai sarananya-- berhasil mencapai kemenangan
dan keberhasilan di berbagai sektor kehidupan. Sebab, siapa lagi yang
merupakan sumber energi dari semua bentuk kekuatan kalau bukan Allah swt.
Jika
kita sudah dekat dengan sumber energi dan sumber kekuatan itu, maka
dengan sendirinya kita pasti lincah bergerak, dan tentu saja juga kuat.
Dari sana kemenangan pasti didapat. Karenanya tidak salah bila redaksi
adzan itu didahului dengan ajakan shalat (hayya alash-shalaah), kemudian
disusul dengan ajakan untuk menang (hayya alalfalaah). Memang demikian
seharusnya. Shalat kemudian menang.
Rahasia
kemenangan itu terletak pada kedekatan kita dengan Allah. Jika kita
sudah dekat, artinya komunikasi kita secara vertikal lancar tak
tersumbat, melalui shalat wajib dan sunnah, maka kemenangan itu pasti
didapat. Allah pasti membantu hamba-Nya yang dikasihi. Masalahnya,
sudahkah ada jaminan bahwa kita telah menjadi kekasih-Nya?
Alangkah
hebatnya potensi ibadah, khususnya shalat ini. Sayang ummat Islam belum
menggalinya sebagai suatu pelajaran yang siap disajikan di kelas,
sebagai praktek yang dapat dilaksanakan di lapangan, dan sebagai satu
bukti yang dapat dilihat dan disaksikan pengaruh dan dampaknya.
Andaikata
shalat ini dikaji secara intensif, dipraktekan sesuai sunnah Nabi di
dalam menyedot kekuatan-kekuatan yang dijanjikan Allah, pasti sudah lama
nasib ummat Islam tidak seperti ini.
Terus
terang kita khawatir jika potensi shalat diabaikan oleh ummat Islam,
kemudian mereka memandang bahwa shalat tidak memiliki arti lagi dalam
kehidupan sehari-hari, maka bencana akan datang menimpa. Bukan bencana
alam, tapi bencana agama. Mereka tidak mau lagi melirik shalat untuk
menenangkan jiwanya, tapi sudah menggunakan cara-cara yang lain. Mereka
mencari terapi yang lain untuk mencegah fakhsa' dan munkar, dengan cara
yang tidak diajarkan agama.
Jika
shalat sudah tidak dipandang sebagai sesuatu yang potensial lagi, lalu
di mana letak keislaman kita? Bukankah shalat sebagai tiang agama? Kalau
tiang itu sudah kita anggap tidak bisa lagi menyangga bangunan yang ada,
maka bangunan apa yang bisa kita dirikan disana?
"Pokok urusan itu Islam, sedang tiangnya adalah shalat, dan puncaknya
adalah jihad fi sabilillah." (HR. Ahmad dan Turmudzi)
Fenomena
yang akhir-akhir ini terjadi, tidak lain karena kita lalai dalam
menyodorkan shalat sebagai alternatif terbaik untuk menenteramkan jiwa.
Pada saat dunia sedang gelisah seperti sekarang, orang pada sibuk
mencari ketenangan. Dengan segala cara mereka ingin dapatkan. Tak peduli
harus lari ke kuil atau pertapaan-pertapaan sepi. Tak peduli harus pergi
ke hutan sendirian, pokoknya dapat menentramkan hati. Alangkah idealnya
bila kita segera memberi jawab atas keresahan ummat ini. Kita sodorkan
alternatif satu-satunya yang dapat menghilangkan stres dan tekanan jiwa
itu.
0 komentar:
Posting Komentar